"Nyonya, apakah anda tidak berencana mendaftarkan Nona ke akademi ?" Tanya seseorang dengan gaun pelayan, rambutnya yang kemerahan digelung dengan rapi seperti layaknya seorang pelayan.
Ia tengah merapikan tempat tidur dan teralihkan pada seorang gadis yang sibuk dengan buku-buku di hadapannya lantas bertanya demikian, tangannya yang cekatan namun tetap elegan itu membuktikan bahwa ia bekerja pada keluarga terhormat.
"Sudah kubilang jangan memanggilku demikian lagi Marry, aku bahkan sudah meninggalkan duchy sejak tiga tahun lalu," ucap sang Duchess yang memiliki warna rambut pirang pucat itu, mata birunya yang cerah seperti langit tak berawan itu menatap putrinya yang tengah membolak-balik halaman sebuah buku bersikap seolah ia sedang membacanya.
"Dan bahkan ia masih berumur tiga tahun, aku sendiri yang akan mengajarkannya banyak hal nanti," ucap sang Duchess seraya mengelus kepala putrinya.
"Saya rasa Nona akan lebih pintar jika anda yang mengajarinya, nyonya Duchess," ucap Marry agak terlonjak karena tanpa sengaja salah memanggil tuannya lagi.
"Lady Veronica, panggil aku seperti itu atau jangan pernah memanggilku," ucap sang Duchess agak marah kali ini, Marry mengangguk paham melanjutkan pekerjaannya.
Sang Duchess masih mengusap-usap kepala putrinya dengan penuh sayang, "Apa yang kau lihat putriku ?" Tanyanya menyadari betapa seriusnya sang putri mengamati sebuah halaman pada buku dihadapannya.
"Salju ! Richie ingin lihat salju," ucapnya seraya menunjuk sebuah gambar kepingan salju di halaman itu.
Sang Duchess tertegun untuk beberapa waktu setelah itu tersenyum menatap putrinya dengan sangat lembut "Kita akan melihatnya saat musim dingin nanti putriku, Ibu sangat tau kau suka sekali pada salju dan musim dingin,"—
—Ayrece terhenyak dalam tidurnya, terbangun dengan keadaan berkeringat. Sudah sekitar satu Minggu ia berada di kota perbatasan barat kerajaan Brechordon itu, dan mimpi itu muncul semenjak sehari setelah ia tiba, setiap malam namun anehnya ia sama sekali tidak mengingat wajah orang yang ia temui lebih dari lima kali di mimpinya itu.
Ia hanya mengingat rambut pirang pucatnya. "Hanya sebuah bunga tidur," gumamnya sebelum bangkit dan menuju ruang bilas untuk membersihkan dirinya.
Setelah mengganti pakaian dan menghabiskan sepotong roti dengan sedikit terburu-buru, Ayrece melangkah keluar kamarnya berjalan menuruni anak tangga penginapan.
Setibanya di lantai dasar, Ayrece melihat sekeliling tempat yang cukup banyak orang itu.
Di sudut kiri dekat dengan pintu keluar ada beberapa lelaki dewasa tengah mengerumuni seorang wanita dengan rambut merah dan ikat kepala hijau khas gipsi, mereka berseru-seru terlihat asyik.
Ayrece berjalan melewati mereka, tidak ingin mengganggu kesenangan mereka "Hey Ay !" Teriak si wanita gipsi berambut merah itu.
Ayrece menoleh menatap wanita yang selalu ia ikuti langkahnya itu "Ke tempat baca ?" Tanyanya seraya mengangkat tangan kirinya memberi isyarat pada beberapa lelaki yang mengerubungi nya untuk diam sejenak.
"Ya, seperti biasa," ucap Ayrece agak menepi menghindari orang-orang yang lewat mengangkut karung beras, selama satu Minggu itu pula Ayrece menghabiskan waktunya di perpustakaan dan sesekali berjalan-jalan di sekitar pasar.
"Baiklah, aku akan menyusul setelah membacakan tarot pada orang-orang sok tau ini," ucap Yuriel seraya menunjukkan setumpuk kartu tarot di tangannya.
Ayrece mengangguk sebelum berlalu menuju kedai buku Arthur di ujung gang.
"Selamat pagi, Arthur," ucap Ayrece setelah menginjakkan kaki di kedai tua yang terlihat hangat dan nyaman itu, didapatinya sesosok tua yang ia panggil Arthur sedang membersihkan deretan buku di rak, ia membenahi kacamatanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Winter
Фэнтези15 tahun adalah waktu yang Ayrece habiskan tanpa mengetahui siapa dirinya sebenarnya, ia hanya terus berkelana dengan seorang gipsi yang ia panggil bibi. Namun secara tiba-tiba, saat ia datang ke sebuah tempat dimana salju tidak pernah meleleh, ia m...