Bagian 70. 'Rencana Kedua'

71 14 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi saat para bangsawan dan menteri keluar dari ruang pertemuan.

Perundingan calon pewaris tahta sudah usai, saat ini mereka memiliki calon pewaris yang kurang dari satu minggu akan dilantik.

Kantor penerbit dan para penyebar berita akan sibuk menulis berita yang mereka terima untuk kemudian disebarkan ke seluruh benua.

Meskipun masih dini hari, beberapa menteri sudah harus menemui para pemilik kantor berita untuk memberitahukan hasil dari perundingan.

Sebagian yang lain harus menyiapkan penobatan pemimpin baru. Intinya, semua orang akan sibuk setelah ini.

"Semoga pekerjaan yang menanti Anda segera selesai, Tuan Schuchter," Demelza berdiri dari kursinya seraya menatap kearah seorang anggota dewan menteri yang terlihat lelah.

"Terimakasih Yang Mulia, selamat beristirahat," ucapnya sebelum kemudian membungkuk hormat dan meninggalkan ruangan yang sudah mulai kosong.

Demelza tersenyum mengangguk kemudian ia menoleh kearah kanan di ujung meja lonjong yang memanjang itu.

Earlene duduk dengan tangan tertaut diatas meja, ia terlihat tidak baik-baik saja.

Karena khawatir, Demelza berjalan kearahnya seraya sesekali melempar senyum kepada beberapa menteri yang menyapanya.

"Lin, ada apa ?" tanya Demelza.

Rasanya sangat aneh padahal tadi ia terlihat semangat saat pertemuan dimulai, ia juga menyelesaikan sesi debat dengan Algar dengan sangat baik.

Dan berkat itu ia sudah diputuskan untuk menjadi calon pemimpin Brechordon.

"Apa Ibu melihat bagaimana ekspresi Grand Duke tadi ? Ia hanya mengatakan selamat lalu pergi begitu saja, apa aku melakukan kesalahan ?" tanya Earlene terdengar panik.

"Astaga, tenanglah, mungkin Grand Duke ada urusan mendesak, tadi Tuan muda juga segera pergi, kan," ucap Demelza menenangkan.

"Tapi, rasanya seperti ada yang salah," ucap Earlene.

"Kita akan tahu nanti, lebih dari itu saat ini para orang-orang itu pasti sedang berdebat," ucap Demelza tersenyum menatap kursi kosong yang tadi diduduki kakaknya, Jefford Vatillian.


Benar sekali kata Demelza, saat ini di pavilliun tempat Algar tinggal yakin Istana Charlotte, Faustus meluapkan amarahnya dihadapan banyak orang.

Jefford, Algar, Georgia, Carmine, Laguna, Richard, mereka berkumpul di Istana Charlotte atas panggilan Faustus.

"Hanya karena Pangeran Osmond tidak mendapatkan pendidikan pewaris ? Aturan brengsek !" teriak Faustus.

"Paman bilang semua akan berjalan lancar," ucap Algar, ia sudah susah-susah berusaha bersikap ramah seperti Osmond meskipun ia membenci itu.

Padahal mereka sudah menyiapkan segalanya, bahkan sudah menyiapkan dalih bahwa terdapat tiga Raja terdahulu yang telah membuktikan kehebatannya tanpa mengikuti pendidikan pewaris.

Mereka juga telah mengangkat pengkhianatan Putri yang membawa satu batalion tentara keluar dari pangkalannya.

Namun Faustus sama sekali tidak mengira Althare akan menyiapkan materi politik dan pembelaan serinci itu.

Itulah masalahnya, ada Althare disetiap rencana yang ia buat. 

Jika saja ia hanya kuat, dengan sedikit kelicikan saja Faustus mungkin sudah bisa mengalahkannya.

Namun orang yang memiliki banyak julukan besar itu sama sekali tidak bodoh, ia sangat pintar.

"Kita akan melancarkan rencana kedua," ucap Faustus.

"Bukankah ini sudah cukup ? Calon pemimpin sudah ditentukan dan saat matahari terlihat seluruh negeri akan menyambut calon pemimpin mereka, ini sudah berakhir," ucap Jefford.

Georgia terdiam mengamati keadaan, ia berharap rencana kedua yang dimaksud oleh Faustus tidak akan pernah dilakukan.

Faustus mengernyit menatap Jefford, dengan langkah marah ia menghampiri Jefford kemudian menarik kerah bajunya.

"Saya melakukan semua ini kan untuk keluarga Anda, dan Anda bilang cukup ? Apa Anda ingin berhenti setelah kehilangan banyak hal ?" geram Faustus.

Melihat perlakuan tidak sopan pada Tuannya itu, Carmine dan Laguna yang berdiri di belakang Jefford mengangkat tangan hendak menyerang.

Namun keduanya harus menahan serangan karena Georgia bersiap mengarahkan sihirnya juga kearah Jefford sebagai ancaman.

"Saya sudah sangat bodoh selama ini terlalu mempercayai Anda, Saya sudah tahu bahwa Anda bertindak diluar kehendak Ibu Saya," ucap Jefford.

Faustus melepas cengkeraman tangannya dari kerah baju Jefford, ia menatap Jefford tak berkedip.

"Aah sudah ketahuan ya," ucap Fautus lirih.

Kemudian di detik selanjutnya ia tertawa keras, menggema sampai ke setiap sudut ruang tamu Istana Charlotte.

"Ternyata Anda tidak sebodoh yang Saya kira !" Serunya ditengah-tengah tawanya yang semakin menggelegar.

Jefford mengernyit melihat tingkah orang yang selama ini ia ikuti perintahnya itu.

Seminggu terakhir ia mencari-cari Faramond yang katanya sudah lama pergi dari Vatillian, saat salah satu orangnya menemukan Faramond di Mestyn Alley ia hanya menitipkan pesan sembari mengirim orang itu kembali ke Jefford.

Faramond mengatakan bahwa Helena sama sekali tidak mengetahui kematian Callister dan banyak hal lain yang telah terjadi di Kerajaan.

Tentu saja Jefford tidak percaya akan hal itu, sampai ia sendiri yang mendatangi Ibunya.

Helena yang semakin lemah mengatakan ia telah mempercayai orang yang salah.

Setelah ia mengetahui hal itu, ia tidak bisa asal bertindak karena disamping Faustus selalu ada Georgia dan Osmond yang semakin hari menurutnya semakin aneh.

Ia mendukung pengajuan Osmond semata karena Dantevale mendukung Earlene yang sudah lama berada di Dantevale.

"Saya tidak akan mengikuti Anda mulai sekarang," ucap Jefford kemudian berbalik dan melangkah pergi dari tempat itu.

Pintu itu kembali tertutup rapat meninggalkan Georgia, Richard, dan Algar disana.

"Dia sudah tidak berguna, haruskah aku membunuhnya untuk paman ?" tanya Algar yang sedari tadi duduk santai dengan memasang wajah jengkel kepada Jefford.

"Tidak, ia harus hidup dan melihatku menghancurkan seluruh negeri ini dan keluarga kebanggaannya itu, kemudian ia akan mati dengan cara yang paling menyakitkan," ucap Fautus.

Ia menoleh kearah Georgia "Bukankah itu ide yang bagus, Nyonya Martinez ?" tanya Faustus tersenyum.

"Saya setuju untuk tidak membunuhnya sekarang, itu hanya akan menambah kecurigaan," ucap Georgia.

Algar mengangguk-angguk, meskipun sedari tadi ia terlihat santai, Georgia dapat merasakan hawa ingin membunuh yang sangat pekat disekitarnya.

"Bagaimana dengan rencana kedua ?" tanya Algar lagi.

"Akan kuputuskan setelah menemui Tuan lamaku," ucap Faustus, kemudian ia menghilang begitu saja dari ruangan itu.

Algar menatap Georgia yang masih berdiri didekatnya "Anda siap untuk rencana kedua kan, Nyonya ?" tanya Algar.

Georgia menoleh "Tuan belum memutuskannya," ucapnya.

"Tapi bukankah Anda harus menyiapkan diri ? Rencana itu kan sangat bergantung pada Anda," Algar berdiri dari duduknya.

"Atau apakah Anda bahkan harus menyiapkan hati ? Sihir itu kan, bisa saja membunuh Tuan lama Anda," ucapnya dengan senyuman menakutkan.



Selanjutnya...

Bagian 71. 'Tamu Yang Dinantikan Dantevale'


Hi there ! Do you enjoy this chapter ?

Terimakasih udah sempetin buat baca buku ini. You can support the author by pressing the vote button and feel free to leave any comment. See you next week !


Eternal WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang