Bagian 51. 'Raja Baru Brechordon'

90 9 0
                                    

Keesokan harinya setelah hari duka di Brechordon, duka masih sangat terasa di tanah Utara.

Althare berdiri di balkon kamarnya yang menghadap ke halaman kastil.

Kedua mata keemasan itu menatap puluhan ribu krisan yang masih berada di halaman, masih begitu segar seolah melambangkan duka yang belum hilang. 

Matahari masih belum terlihat namun sudah banyak orang yang berlalu lalang di Dantevale.

Althare sempat lupa banyak sekali pihak yang mendukung Dantevale sampai-sampai kastil dipenuhi oleh manusia seperti itu.

Untuk sesaat ia dibutakan oleh kesedihan. Terlebih, akhir-akhir ini suara-suara yang dulu mengganggunya terdengar lagi.

Itu juga alasan kenapa dia terbangun lebih pagi daripada biasanya.

Althare masih dalam lamunannya saat mendengar pintu kamarnya diketuk, ia hafal dengan ketukan yang khas itu.

"Tuan, Yang Mulia Putri ingin bertemu," ucap Stephan samar, namun Althare dapat mendengarnya dengan jelas.

"Biarkan beliau masuk," ucap Althare enggan bergerak dari tempatnya.

Tak lama setelah itu, pintu yang tadi tertutup rapat terbuka, Putri Earlene yang menggunakan setelan hitam lagi saat itu memasuki kamar Althare kemudian berhenti di ambang pintu menatap Althare yang masih di balkon.

Althare menatapnya, dari kejauhan sangat terlihat bahwa Earlene baru saja menghabiskan malamnya dengan menangis.

Gaun hitam yang ia kenakan menunjukkan ia masih berduka. 

Biasanya seorang bangsawan wanita akan memakai setelan hitam setelah ditinggal keluarga laki-lakinya sampai tiga hari setelah kematiannya.

"Apakah ada yang Anda perlukan, Yang Mulia ?" tanya Althare seraya melangkah mendekati Earlene yang masih berdiri ditempatnya.

"Ada yang ingin kukatakan," ucap Earlene, Althare berhenti dihadapannya menatap Earlene dengan alis terangkat.

"Tolong ijinkan Ibuku tinggal disini bersamaku," tangan Earlene tertaut didepan badannya, kedua matanya mengisyaratkan bahwa ia memohon dengan sungguh-sungguh.

Althare terdiam untuk beberapa saat, ia memang berniat untuk membiarkan Demelza tinggal di kastil, melihat kondisinya yang cukup kacau kemarin.

Namun, karena putrinya sampai datang sepagi itu dan memohon padanya, sepertinya ada sedikit ketidakyakinan dari mereka bahwa Althare akan mengijinkan Demelza tinggal.

"Setelah datang kemari, bahkan jika itu Ibu Suri pun, pasti akan dianggap sebagai pengkhianat, Aku memohon dengan sangat ijinkan-"

"Baiklah," ucap Althare memotong kalimat Earlene. 

"Yang Mulia Ibu Suri bisa tinggal, namun beliau tidak boleh menggunakan sihir apa-apa diluar ijin Saya. Semua kegiatannya akan diawasi setidaknya oleh dua orang dari Dantevale," ucap Althare santai.

Earlene terdiam tidak bisa berkata apa-apa. "Jika Anda sudah selesai Saya mohon ijin, banyak yang harus dikerjakan," ucap Althare kemudian melangkah pergi.

"Kenapa ?!" itu bukan suara Earlene, melainkan Demelza yang berdiri didepan kamar Althare.

Ia masih mengenakan pakaiannya kemarin, wajahnya sembab dan penampilannya benar-benar kacau.

"Ibu !" Earlene menghampiri Ibunya. Althare sedikit bingung menatap Demelza yang terlihat marah.

"Kenapa Anda bisa bersikap sebaik itu ? Apa Anda lupa semua yang Saya lakukan ? Seharusnya begitu Anda melihat Saya, Anda membunuh Saya, lebih dari siapapun Anda tahu bahwa Saya sudah berkali-kali ikut dalam rencana pembunuhan anak-anak Anda tapi..tapi.." Demelza limbung, airmatanya mengalir.

Eternal WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang