Bagian 2 (2). 'Kesetiaan Seorang Gipsi'

231 21 0
                                    

"Mungkin aku akan ke Utara, dan mengalahkan banyak monster," ucap Ayrece santai seraya melirik gambar monster dengan badan besar berbentuk seperti beruang tanpa bulu, kulitnya terlihat keras dan kepalanya bertanduk seperti banteng.

Yuriel tertegun sejenak sementara Ayrece kembali pada bukunya "Membasmi monster itu bukan hal yang mudah dan sepele bahkan bagi seorang pengendali elemen es sekalipun," Arthur menyahut melangkah mendekati Ayrece dan Yuriel dengan nampan berisi dua gelas air dingin di tangannya itu.

Baik Ayrece dan Yuriel menoleh namun hal yang menarik perhatian keduanya jelas berbeda.

Ayrece berbinar menatap Arthur berharap ia melanjutkan kalimatnya sedangkan Yuriel tentu saja lebih tertarik pada air dingin itu.

Yuriel meraih nampan dari tangan Arthur lebih berniat merebutnya daripada menolong Arthur, Ayrece masih menatapnya seolah menunggu jawaban dari sebuah pertanyaan.

"Aku pernah mengenal seorang pengendali elemen es," ucap Arthur menjelaskan membuat mata Ayrece lebih berbinar, "Namun ia berhenti berlatih dan menyerah setelah berkali-kali kalah telak saat membasmi monster."

"Ah atau lebih tepatnya ia dikalahkan oleh energi elemennya sendiri, karena elemen es adalah elemen yang sangat sulit untuk dikendalikan," jelas Arthur.

"Jadi pengendali elemen itu masih ada ?" Ucap Ayrece dengan nada antusias sekaligus bingung. "Sangat sedikit, melemah," ucap Arthur melihat keluar jendela mengamati jalan yang terpapar teriknya matahari siang itu.

"Namun itu berbulan-bulan yang lalu, aku bertanya-tanya setiap harinya bagaimana kabar tempat itu dan orang-orangnya" ucap Arthur tersenyum lantas beranjak dari tempatnya.

Ayrece agak terbingung, ada beberapa informasi yang masuk kedalam otaknya, ia berusaha mencerna satu-persatu kalimat Arthur "Tempat itu maksud-"

"Dantevale," ucap Yuriel setelah menegak habis air dalam gelas yang dibawa Arthur sebelumnya, Ayrece mengangkat alis memasang wajah seolah berkata 'Itu terdengar seperti omong kosong'

Yuriel agak mengernyit sebal, ia memajukan kursinya berniat duduk lebih dekat dengan Ayrece, mata hijaunya mengecek Arthur yang berjalan menjauh "Aku berkeliling tempat ini bukan tanpa alasan, kau tau itu kan" Ucap Yuriel setengah berbisik.

Ayrece sangat tau bahwa begitulah cara Yuriel mengumpulkan informasi dan ia juga sangat tahu hasilnya benar-benar nihil, selalu seperti itu karena sebenarnya Yuriel tidak pandai berbasa-basi dengan orang, terlalu tidak sabaran.

"Kukira tidak ada yang kudapatkan, tapi rasanya ada satu," ucap Yuriel menoleh menatap Arthur yang tengah menulis sesuatu di perkamen, wajah tua nya terlihat serius.

"Mereka bilang pak tua pemilik kedai buku menutup kedainya selama berhari-hari setiap pertengahan tahun untuk pergi ke Utara, entah bagaimana ia bisa memasuki tempat itu, banyak yang tidak percaya dan berpikir bahwa sebenarnya pak tua itu hanya pergi ke kota yang dipimpin seorang Baron dekat Dantevale untuk berburu buku," ucap Yuriel dengan nada serius.

Ayrece berpaling menatap Arthur "Tunggu," ucap Ayrece menyadari Arthur sudah tidak ditempatnya, Yuriel ikut menoleh tidak mendapati Arthur juga keduanya mengedarkan pandangan mencari-cari Arthur.

"Mungkin diantara rak," ucap Yuriel, Ayrece menatap Yuriel agak tidak yakin sampai sesaat kemudian bangkit berdiri berniat mengecek meja Arthur diikuti Yuriel.

"Astaga 1" Ayrece tersentak membuat Yuriel mempercepat langkahnya sedikit berlari "Ada ap- astaga !" Yuriel ikut berseru saat mendapati Arthur tergeletak tidak sadarkan diri dengan muka pucat di lantai.

"Ay ! Panggil bantuan segera !" ucap Yuriel agak panik seraya mendekati tubuh Arthur mengecek napasnya, Ayrece menatap Yuriel berharap.

"Panggil orang! Kita tidak bisa mengangkatnya berdua !" seru Yuriel dan dengan segera Ayrece berlari keluar kedai mencari bantuan.


Arthur masih terbaring keesokan harinya saat Ayrece dan Yuriel datang berkunjung lagi, para tetangga bergantian menunggu Pak tua yang selalu baik hati itu.

Termasuk pria gempal penunggu penginapan yang baru kemarin sekali Ayrece ketahui namanya itu, Benjamin begitulah namanya tetapi pagi itu Yuriel masih saja menyebutnya si penjaga penginapan.

"Belum bangunkah, penjaga penginapan?" Tanyanya pada Benjamin yang duduk di pinggir ruangan itu, menatap Arthur yang terlihat sangat pucat.

Pria itu terdiam dan dengan diamnya tersebut sudah cukup menjawab pertanyaan Yuriel.

Mereka terdiam agak lama menatap pria tua yang selalu tersenyum itu "Semua orang menyukainya," ucap Benjamin mulai membuka suara.

Ayrece dan Yuriel terdiam mempersilahkan Benjamin melanjutkan kalimatnya.

"Ia orang baru awalnya, mungkin sekitar lima tahun lalu, tidak ada yang tahu darimana ia datang, saat ditanya ia selalu mengatakan ia berada disini untuk menunggu seseorang," lanjut Benjamin yang kemudian terdengar menegak minumannya.

"Lima tahun adalah waktu yang cepat, tapi banyak sekali yang ia lakukan untuk kota kecil ini, terlalu baik sampai-sampai orang terlalu sungkan untuk memasuki kedainya,

"ia tak pernah mau menerima apa-apa dari kami saat kami datang, 'kami hanya akan menunggumu mengunjungi gubuk-gubuk kami dan menjamumu, sudah cukup yang kau berikan untuk kami' begitulah orang-orang kota kecil ini berkata pada pak tua ini," Benjamin baru saja menjawab hal yang selama ini menjadi pertanyaan di kepala Ayrece, benar-benar hal yang tidak terduga.

Ayrece menoleh menatap wajah Benjamin yang merah, menahan tangis, tidak biasa dengan ekspresi itu karena biasanya ia terlihat menyebalkan.

"Pak tua itu pergi ke desa di bukit Utara untuk mencari obat lima bulan lalu dan tidak kembali dua bulan lamanya, setelah kembali alih-alih mendapatkan obat untuk penyakitnya,

"yang ia katakan adalah ia mengunjungi Dantevale, hal yang membuatnya mulai dijauhi orang-orang," ucap Benjamin yang kini nampaknya tidak bisa menahan kumpulan air di matanya untuk tidak tumpah.

Ayrece mengangguk mulai mengerti lantas berjalan keluar ruangan yang digunakan Arthur untuk kamar tidur di kedai itu.

Mata Ayrece menilik setiap sudut kedai buku itu lantas menoleh kearah pintu saat mendengar pintu terbuka, Yuriel mengikutinya berjalan menghampiri Ayrece.

"Tidakkah menurutmu orang-orang sangat kejam," ucap Ayrece pada Yuriel, matanya masih menilik ruangan penuh buku itu.

Yuriel menghela napas meletakkan tangannya di bahu Ayrece lantas mulai bertutur "Pernah satu kali aku mengunjungi desa gipsi yang amat terpencil, disana ada seorang wanita gipsi yang cukup disegani," Ayrece menatap Yuriel menanti ia melanjutkan kalimatnya.

"Wanita dingin dan nyentrik itu berkata padaku, sebaik apapun dirimu sebanyak apapun kau berkorban jika kau menyuarakan pemikiran yang berbeda dengan sosial yang ada, kau akan dikucilkan."

Yuriel menurunkan nada bicaranya di akhir kalimat terdengar agak ragu mengatakannya. Ayrece mengangguk memberi isyarat ia sudah mengerti maksud dari perkataan Yuriel.

"Desa di bukit itu, bibi," ucap Ayrece meremas tangannya, tidak yakin akan melanjutkan kalimatnya.

"Tentu saja kita akan pergi, mencari obat atau apalah itu, aku tidak bisa berhutang pada pria tua yang telah memberiku pelega dahaga, jangan remehkan kesetiaan seorang gipsi," Yuriel tersenyum menatap Ayrece seraya menepuk pundak Ayrece untuk menyalurkan semangat.


Selanjutnya...

Bagian 3. 'Lancos : Desa Misterius Diatas Bukit Utara'

Eternal WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang