66 Bread and Butter (1)

7.6K 526 178
                                    

Malam pelik itu berlalu begitu saja. Tidak ada pelukan, tidak ada kecupan. Anyep. Salma seperti membangun benteng tak terlihat yang begitu tinggi dan dingin. Rony tidak sampai hati untuk sekedar menyentuhnya.

Kali ini sepertinya Salma benar-benar marah. Cara marahnya berbeda dengan biasanya. Tidak ada kata-kata kasar, tidak ada kata yang keras. Perempuan itu selalu berbicara dengan pelan, beberapa kalimat hanya dengan tekanan tegas, saat dia menggaris bawahi kalimatnya.

Rony baru menyusul ke tempat tidur saat dini hari. Salma tidak mengusirnya dari kamar. Tapi kamar mereka terasa lebih dingin dari biasanya. Satu di ujung kiri satu di ujung kanan, berjauhan. Tidak mau saling mengusik. Dia baru bisa tidur pada sepertiga malam terakhir. Pikirannya tak kalah overthinking. Dia memikirkan segala kemungkinan. Bagaimana cara melalui perkara kali ini.

Termasuk perpisahan, hal yang Rony takutkan. Kekecewaan perempuannya mendalam. Tapi kata perpisahan tidak keluar dari mulut Salma. Tidak, perempuannya tidak akan sepicik itu. Hal itu yang sedikit membuatnya tenang dan bisa terlelap.

Paginya Rony bergegas turun ke bawah saat dia tidak mendapati perempuannya di kamar saat terjaga.

"Sa..." panggilnya saat Rony mendapati Salma di dapur.

Salma hanya menoleh, tidak menyahut. Rony duduk. Salma sedang membuat minum. Beberapa helai roti panggang tersaji di piring di atas meja. Salma menyodorkan segelas kopi untuk Rony. Rony tersenyum, ah bentengnya tidak setinggi itu, hanya dingin sekali. Dia menyesap kopinya.

Salma mengambil butter kemasan kecil dari kulkas, meletakannya di samping roti panggang yang hangat. Membuka satu lalu mengoleskannya ke roti panggang. Menyerahkan ke lelakinya setelahnya, tanpa suara. Rony menerimanya, dengan senyum tipis.

"Sa... ngomong dong," pinta Rony membuka obrolan.

Salma hanya menghela nafas. Dia mengoleskan butter ke potongan roti kedua, untuknya sendiri.

"Sa, please maafin gue, gue ga menyembunyikan apapun, beneran," Rony memohon. Melanjutkan obrolan semalam.

"Sorry, Ron. Gue susah terima kalau cuma itu yang Lo omongin terus," akhirnya Salma bersuara.

"Sa, gue nggak punya kalimat lain, memang cuma itu. Semuanya profesional kerja," Rony kekeh dengan pernyataannya.

"Kita ga tau Tari menganggapnya berbeda atau tidak," tukas Salma.

"Tolong Sa, itu bukan urusan gue," ucap Rony sambil menghabiskan roti panggang beroleskan butter, entahlah roti itu terasa lebih enak dari biasanya.

"Tapi hubungan kerja ini bisa bikin dia berharap Lo nggak bahas tentang dia. Bahkan gue nggak tau dia tau apa enggak kalau Lo udah punya istri, kan?"

Sial, Rony menyadari sesuatu. Sangking fokus ke profesional pekerjaan, dia tidak membahas perkara pribadi. Dia pun tidak tahu, bagaimana Tari menganggap pertemuan mereka. Tidak mau tahu lebih tepatnya.

"Sa... setelah kemarin gue nggak ada rencana ketemu dia lagi," ungkap Rony.

"Belum, masih ada kemungkinan," tangkis Salma.

"Gue nggak akan terima kemungkinan itu, itu sikap gue," hanya itu yang bisa Rony ungkapkan.

"Belum menjamin apapun, kita nggak tau kedepannya seperti apa," Salma masih kaku hatinya.

"Sa, cara Lo yang kayak gini juga tidak memperbaiki apapun,"

"Gue butuh waktu, Ron. Sorry..." ucap Salma lirih. Perasaannya masih kacau.

"Sa..."

"Hari ini gue ke kampus ketemu Mas Ditho. Mungkin ke perpustakaan setelahnya," Salma masih berbagi jadwal dengan lelakinya. Menghindar lebih tepatnya. Rony enek.

Dengarkan [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang