8. The Black and White

1.2K 101 10
                                    

Lonceng mungil kafe Champ bergemerincing saat Finza masuk ke dalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lonceng mungil kafe Champ bergemerincing saat Finza masuk ke dalam. Keadaan di dalam kafe tersebut sama seperti hari-hari sebelumnya. Ramai dan padat oleh pengunjung dari yang muda hingga tua.

Finza memutar bola matanya dan menemukan anak-anak Champ tengah bersantai di sofa sisi dalam. Azel seperti biasa berkutat dengan laptopnya. Faza dan Eza entah tengah meributkan apa. Sementara Divia sibuk bolak-balik ke dapur dengan satu nampan penuh cromboloni.

Divia meliriknya. "Loh, Cha, baru pulang? Emang dari mana, sih?"

Finza menoleh dan tersenyum riang. "Tadi aku abis dari rumah Dan. Hehehe."

"Gimana rumahnya Dan? Pasti gede banget, ya? Sepuluh kalinya rumah kita-kita?"

Finza mengangguk-angguk semangat. "Iya, Div, gilak. Darian my prince emang keren banget!"

Finza melotot begitu sadar muka ganas Faza berada sangat dekat dengannya. Sontak Finza mendorong tubuh sepupunya itu. "Ih, apaan sih, Fa?! Sakit, tahu! Sakit! Kamu pukul jidat aku pake apaan?"

Bukannya menjawab, Faza malah menyedekapkan tangan sambil menggelengkan kepala. "Makanya jangan terlalu ngagumin Darian! Apa-apa Darian, dih! Belum juga jadi suami lo!"

Finza baru akan membalas ucapan Faza saat tiba-tiba telinganya ditarik oleh Eza. "Akh—Jaja! Apaan, sih? Hih, kalian berdua nyebelin banget! Bilang aja kalian iri sama Dan! Kalian pengen kan bisa kayak dia yang sempurna sekaligus kaya raya. Tapi sayangnya kalian kere."

Eza menyentil dahi kembarannya. "Wah, kurang ajar lo lama-lama, Cha! Awas ya lo kalau sampe kacang lupa kulitnya! Gini-gini gue juga kembaran lo! Hidup dari jaman orok bareng lo! Jangan sampe lo lupain gue gara-gara cinta lo ke Dan!"

Finza mendorong bahu Eza dan mencibir. "Aku kan cuma bilang apa yang aku lihat."

"Hish." Eza berkacak pinggang. "Terus itu tadi apa yang lo bilang rumahnya Dan sepuluh kalinya rumah gue?"

"Ups!" Finza mengatupkan mulut. Kemudian terkekeh lirih melihat emosi Eza mencapai taraf tertinggi.

"To be honest, gue emang baru kere. Kerjaan lagi seret. Proyek nggak kelar-kelar. Mana kebutuhan anak makin nambah pula. Popok, susu, bubur, dan teman-temannya yang bejibun." Eza menghembuskan nafas panjang. "Rumah aja gue sama Aren baru bisa beli yang mini di ujung jalan. Terus, so what?"

Faza mengangguk. "Yeah, kita mah apa? Cuma kerikil-kerikil kecil di mata Darian."

"Ah, butiran debu doang kali! Kerikil nggak nyampe!"

"Bener, Ja. Bener. Maksud gue, butiran debu. Butiran debu yang nggak berbentuk—yang sekali aja ketiup Darian udah ilang keberadaannya."

"Yup, butiran debu yang wuuush seketika ilang gitu aja!" Eza tersenyum manis. "Tapi, gue bahagia kok tinggal di rumah mini gue. Seenggaknya gue beli rumah itu pake tabungan gue sama Aren sendiri. Kita nggak minta uang sama Papa dan Papi."

Revenger CriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang