51. The Fate

1K 140 18
                                    

"Salam kenal, Arnia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Salam kenal, Arnia."

Suara itu masih terus mengaum lembut di telinga Finza. Membuat dadanya berdesir untuk beberapa saat. Tapi, tidak mengalahkan keterpanaannya sama sekali. Sekarang matanya masih tertuju pada laki-laki itu.

"Nice to meet you." Suara Dafa kembali terdengar. Menyadarkan Finza.

"Me too," jawab Finza sedikit kikuk.

Ada hening yang panjang saat keduanya tak henti melepas jabatan tangan masing-masing. Juga tatapan mata mereka yang masih tertuju satu sama lain.

Finza tahu dia harusnya melepaskan jabatan tangan itu. Tapi, yang dilakukannya malah diam. Mencoba menjari jejak dari balik tatapan matanya. Semua ini terlalu kebetulan hingga membuatnya kebingungan.

Barulah ketika Divia datang dari kejauhan menyerobot tangannya, akhirnya jabatan tangan itu lepas juga. "Hi, aku Divia. Aku juga temennya Acel."

Dafa memaksakan senyum tipis. Pandangannya teralih pada Divia. "Dafa."

Divia tertawa riang. Raut wajahnya yang penuh tepung dengan apron kotor yang menggantung di sekeliling leher tak dipedulikannya. Matanya kini menatap Azel. "Jadi, ini yang namanya Dafa? Finally, ketemu juga sama temen kamu, Cel."

Azel tersenyum miring. "Sebenernya gue nggak pengen ketemu dia lagi."

Divia masih terus menggoda. "Ah, masa?" Matanya teralih pada Dafa. "Oh iya, Daf. Aku mau kasih tahu, nih, ya. Seumur hidup Acel, cuma kamu satu-satunya yang bisa bikin dia nangis."

"Shit! Apaan, sih?" Azel menggeram pada Divia. "Ngaco lo, Div."

Dafa hanya tertawa untuk menutupi kegugupannya. Diam-diam sudut matanya masih terus mengikuti gerak-gerik Finza. Sekarang perempuan itu memilih mundur. Raut wajahnya masih kosong seperti tadi.

Divia yang menyadari tatapan keduanya hanya tertawa. Matanya melirik Finza genit. "Ganteng ya, Cha," bisiknya sambil melangkah mundur menyenggol lengan Finza.

Finza tersenyum tipis. "Iya."

"Kok kamu diem aja? Biasanya kamu heboh sendiri kalau ketemu cogan," Divia menyenggol lengan Finza.

Finza mengerjap malu-malu. "Ha? Aku—" Dia meringis menatap Divia. "Aku ke belakang dulu."

Divia terkesiap. Buru-buru berlari menyusul. Keduanya kini berada di dalam dapur. Finza sibuk melanjutkan masakan Divia tanpa bicara apapun. Divia menatapnya curiga. Tidak biasanya Finza malu dengan laki-laki. Biasanya sahabatnya ini tidak punya malu sama sekali. Malah dia selalu cari perhatian di depan laki-laki tampan. Tapi hari ini lain.

"Heh, Cha, ngapain di sini? Ayo ke depan!" Divia tersenyum menggoda. "Lumayan bisa kenalan sama temennya Acel. Aku nggak nyangka, yang namanya Dafa itu cakep juga ternyata. Yah, awalnya aku pikir cuma cowok berandal biasa. Tapi, wow. So handsome."

Revenger CriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang