Dafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi-pagi sekali Dafa sudah menggedor-gedor pintu kamar tempat Finza tidur. Finza yang baru tidur beberapa jam terakhir terpaksa bangun. Kepalanya pening dan tubuhnya serasa sakit semua. Semalaman dia memikirkan cara kabur dari sini tapi tak menemukan jawaban juga.
Kemudian semua berakhir ketika dia kelelahan dan jatuh tertidur setelah dua anak buah Dafa itu melepas ikatannya dan menyeretnya ke sebuah kamar yang lumayan nyaman. Lalu dia dikunci semalaman di sini. Entah Finza harus bersyukur atau tidak dipindah ke tempat yang jauh lebih manusiawi ini. Setidaknya ada tempat tidur yang lumayan empuk.
"Heh, bangun! Jangan keenakan lo mentang-mentang gue bawa ke tempat bagus!"
Finza bangkit dan segera duduk di pinggiran ranjang. Sesekali menata rambutnya yang berantakan akibat tidak dia sisir sejak kemarin. "Apa?"
Dafa melempar ponsel di tangannya ke atas pangkuan Finza. Seketika ponsel menyala menampilkan wajah Finza bersama Darian sebagai wallpaper layar. Foto itu diambil tepat di depan menara Big Ben London saat mereka masih kuliah dulu.
Mendadak Finza merindukan Darian. Sangat merindukan laki-laki itu. Rasanya dia ingin segera pulang dan memeluknya. Sungguh, dia di sini amat sangat ketakutan dan membutuhkan perlindungan Darian.
"Gue mau lo telpon Darian atau keluarga lo siapapun itu dan bilang kalau lo lagi di suatu tempat yang aman. Bilang aja urusan sama klien buat proyek atau apa kek. Pokoknya apa aja yang penting keluarga lo nggak curiga."
Finza menatap Dafa sinis. Bermaksud menolak mentah-mentah. Tapi, sebelum dia berhasil melakukan, Dafa sudah mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Seketika membuat Finza merinding setengah mati melihat benda tajam mengkilat itu.
"Kalau lo nggak ngelakuin apa yang gue suruh," Dafa mengacungkan pisau di tangannya lebih dekat pada leher Finza. "Lo akan tahu akibatnya."
"Apa yang kamu bisa cuma mengancam orang lain?" tanya Finza ketus.
Dafa hanya tersenyum. Senyum yang mengerikan seperti biasanya. Bukannya menjawab, dia malah membalas pertanyaan. "Memang yang Dan bisa apa aja?"
Finza mendecih. "Kamu selalu aja bawa-bawa nama Dan! Aku nggak tahu kenapa kamu bisa sebenci itu sama dia! Sampe segala hal yang kamu lakuin selalu ada sangkut pautnya sama Dan yang nggak punya salah apa-apa!"
"Berisik! Cepet lakuin apa yang gue suruh. Atau lo mau benda ini nancep ke wajah cantik lo. Biar Dan nggak mau lagi sama lo." Dafa kembali mengacungkan pisaunya. "Inget, jangan ngomong macem-macem! Lakuin aja apa yang gue suruh!"
Finza menghembuskan nafas panjang dan segera menekan-nekan tombol touch screen ponselnya. Di layar kontak muncul tulisan rumah. Dengan berat hati ditekannya tombol hijau pada kontak tersebut. Hanya butuh beberapa detik sampai terdengar suara bersahutan dari sana.
"Halo, Incha? Halo? Kamu kemana aja, sayang? Dari kemarin kok nggak pulang? Papa kamu marah-marah terus nanyain anaknya yang nggak pulang-pulang! Semalem pas Mama mampir ke butik, Anna bilang kamu ada urusan sama klien? Bener begitu, Cha?"