Satu minggu berlalu begitu saja. Finza lupa hari ini tanggal berapa dan jam berapa. Sekarang yang dirasakannya adalah hari yang semakin cepat berlalu. Dunia di sekelilingnya seakan berputar tanpa memberinya waktu dan kesempatan untuk bernafas. Dan dia berada di sini, di rumah keluarga Dawson, seperti seorang robot. Sementara orang-orang di sekelilingnya mulai membicarakan macam-macam hal yang membuatnya semakin tidak mengerti.
"Undangannya sudah jadi, Cha."
Finza tersentak kaget. Matanya berputar menatap papanya yang tersenyum lebar sambil menikmati secangkir teh. "Apa, Pa?"
Erro menoleh sebentar dari aktivitasnya. "Undangan pernikahanmu sudah jadi. Begini nih enaknya kalau punya calon besan seperti Darwin. Tiba-tiba semua sudah beres dalam sekejap mata. Kita cuma tinggal tunggu saja," candanya.
Darwin terkekeh. "Tidak juga, Ro. Malah aku yang berterima kasih karena kalian mau menyetujui keinginan Darian."
Tawa Erro lagi-lagi terdengar. "Yah, aku tahulah. Aku kan juga laki-laki. Yang namanya laki-laki kalau memang sudah cinta sering susah menahan. Jadi, ya sudah langsung nikahkan saja. Daripada kejadian seperti anakku Eza dulu."
Darwin yang mendengarnya hanya tertawa. Sedikit mendengar kabar tentang Arnafenza dulu. Anak laki-laki Erro, kembaran Finza yang kelewat playboy dan hobi mempermainkan wanita.
Echa yang tengah menyesap teh ikutan tertawa. Pelan disenggolnya lengan sang suami. "Tiba-tiba ingat waktu mantu pertama kali dulu. Beda banget sama pas jaman nikahannya Jaja-Aren ya, Ro."
Erro kembali tertawa. "Iyalah beda. Kalau sama Rio harus ada berantem dulu baru kelar."
"Malah kalau nggak berantem bukan kamu dan Rio namanya." Echa masih terus memasang senyum. "Sepertinya baru kemarin kita menikahkan Eza. Eh, sekarang Finza kita juga sudah mau menikah."
Finza memasang senyuman kecut. Mendengar celotehan kedua orang tuanya biasanya terasa menyenangkan. Tapi, tidak untuk hari ini. Tiba-tiba semua terasa hambar dan dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi semua ini. Pada akhirnya yang bisa dilakukannya hanya pasrah menerima keadaan. Mau mereka begini, begitu, dia tinggal mengikuti saja.
Lalu tak lama setelahnya Darian melangkah turun dari anak tangga. Senyumnya tampak lebar sekali. Seperti sangat bahagia menyambut kedatangan mereka.
"Wah, semua sudah datang," gumam Darian sembari bergantian mencium tangan calon mertuanya yang ada di sana. "Terima kasih banyak, Om, Tante."
"Sama-sama, Dan," jawab Erro ramah. "Ohiya, kakakmu dimana?"
"Ya, biasa, Om. Kak Di super sibuk. Hobinya kerja melulu. Kak Brian juga sama aja. Mana sempat mereka mikirin rumah kalau setiap hari otak mereka isinya kerjaan."
Darwin mengangguk. "Nah, itu yang sering Papa khawatirkan. Kalau Di sama Brian terlalu sibuk dengan kerjaan masing-masing. Kapan mereka benar-benar punya quality time berdua? Papa kan sudah nggak sabar menimang cucu. Seperti kamu, Ro. Ya, kan?" Pandangannya teralih pada Erro.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenger Cries
RomanceDafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...