18. The Denials

1.1K 112 8
                                    

Hujan deras disertai angin kencang masih terus menemani selama perjalanan menuju puncak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan deras disertai angin kencang masih terus menemani selama perjalanan menuju puncak. Della tak henti-hentinya melirik keadaan di luar kaca. Di sana jurang-jurang dalam dan tebing yang tinggi di sekitar jalanan menjadi pemandangan tersendiri. Belum lagi kabut putih tebal yang menyelimuti kawasan tersebut. Juga rintik-rintik hujan yang kian menderas membabi-buta malam. Berulang kali Della berdoa dalam hatinya, memohon dan meminta dengan sangat untuk terus melindungi putranya.

Ya, putranya. Meski tak pernah lahir dari rahimnya, selamanya Dafian Wiranata Dawson adalah bagian dalam dirinya yang berharga. Setiap jerit tangisnya adalah luka untuk Della. Dan setiap kesakitannya juga menjadi sakit yang dirasakan Della. Meski Della tahu dia tak pernah bisa menolong anak itu. Meski Della tahu seluruh kebaikannya tak akan mampu menyembuhkan setiap luka yang dirasakan Dafa. Tapi, sebisa mungkin Della akan melakukan apa yang sanggup dilakukannya untuk melindungi Dafa.

Begitu mobil yang dinaikinya berhenti di salah satu pos penjagaan polisi, Della segera berlari turun. Tak dipedulikannya hujan yang terus menangis. Juga petir yang masih meraung-raung itu. Sekarang dia berlarian. Seperti orang hilang akal, terus mencari segala arah. Sampai akhirnya matanya bertemu pandang dengan mata anak itu.

Della nyaris menangis melihatnya. Anak itu terduduk di salah satu bangku panjang dengan kepala tertunduk. Baju putih abu-abu yang basah, penuh bekas lumpur, dan nyaris sobek di mana-mana. Lalu luka-luka lebam itu. Dan pandangan matanya yang kosong penuh kehampaan.

"Dafa. Dafa."

Tak ada sahutan.

"Dafian, ini Mama Della, nak."

Masih tak ada sahutan.

Della menahan isakannya. Tangannya terkepal dan memukul-mukul pundak Dafa. "Jawab Mama Della, Daf! Jawab!"

Seorang polisi mendekat berusaha menenangkan Della. "Tenang, Bu. Tenang. Mungkin anak ibu masih mengalami shock dan trauma akibat peristiwa tadi. Biarkan dia istirahat dulu."

Della menggeleng dan masih terus berusaha menyadarkan keterdiaman Dafa. "Ayo pulang, Daf! Ayo pulang! Kita pulang sama-sama ya, Nak."

Lagi-lagi tak ada jawaban. Selain setetes air mata yang meluncur dari pipi anak itu. Tatkala membuat Della menjadi sesak seketika. Perlahan bersimpuh untuk menyamakan posisinya dengan Dafa. "Kita pulang sekarang, ya. Kita pulang, Daf."

Dafa menghapus air matanya kasar. Sebisa mungkin memasang senyum. "Maafkan saya, Ma. Maafkan saya. Saya udah belasan tahun. Tapi masih terus aja bikin Mama Della repot."

Della terisak. Cepat menarik Dafa ke dalam pelukannya. "Mama Della yang seharusnya minta maaf. Mama, Daf! Mama nggak pernah bisa menolong kamu. Sehingga kamu harus mengalami semua ini."

Detik selanjutnya tangis yang ditahan Dafa pecah begitu saja. Setiap lukanya berbaur menjadi satu dengan jerit tangisnya. Dan setiap rasa takutnya telah dia keluarkan seutuhnya. Kerana dia tak sanggup lagi menahannya. Rasanya sesak dan menyakitkan. Dia ingin semua ini berakhir. Dia ingin berlari pergi sejauh mungkin. Tapi tak pernah sanggup dia lakukan. Pada akhirnya dia pasrah menerima. Seperti orang bodoh yang terus menerima semua kenyataan pahit.

Revenger CriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang