19. The Called Hell

1.1K 102 10
                                    

Suara hentakan langkah kaki itu masih terus terngiang-ngiang di telinga Dafa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara hentakan langkah kaki itu masih terus terngiang-ngiang di telinga Dafa. Sampai akhirnya dia berhenti di sana. Tepat di depan pintu megah berwarna keemasan. Dan begitu dia masuk, Emira berdiri di sana. Mata penuh intimidasinya menghujam masuk ke dalam mata Dafa. Sudah lama sekali semenjak dia bertemu ibunya. Mungkin sekitar beberapa bulan lalu saat kepulangannya dari Singapura waktu itu.

"Lepaskan dia." Suara tegas Emira terdengar.

Detik selanjutnya Dafa bisa merasakan kedua tangannya mulai ringan. Tapi, bukan berarti dia bebas berlari atau menghindari tempat ini. Karena ini baru saja dimulai.

Langkah kaki itu mendekat. Berhenti tepat di hadapan Dafa. Seulas senyum terpancar dari sana. Senyum yang sejak kecil membuat Dafa mati-matian menahan rasa takut.

"Mari kita akhiri permainan kucing-kucingan ini, Dafian."

Dafa tersenyum sinis. "Mama benar. Ayo kita akhiri ini semua! Lepaskan saya dan biarkan saya hidup bebas, Ma! Saya nggak mau menjadi boneka seperti ini terus!"

Emira tertawa ringan. "Ya, kita akhiri. Tapi setelah kamu menjadi penerus Dawson."

Dafa menggeleng kuat-kuat. Tidak.

Dulu menjadi dokter adalah salah satu tujuan hidupnya. Sekarang semua sudah tak berguna lagi untuknya. Semua itu semata-mata hanya kewajiban, tuntutan dalam keluarga, dan ambisi Emira saja. Bukan kemauannya sendiri.

"Saya nggak mau!"

Emira masih tersenyum sinis.

"Saya nggak mau melakukan sesuatu yang nantinya akan mempermudah Mama," Dafa balas tersenyum. "Mama pikir saya bodoh? Menjadi dokter dalam keluarga ini artinya menjadi salah satu pewaris besar Dawson. Dan artinya Mama bisa memperoleh harta dari saya. Benar begitu, kan? Kalau memang itu yang Mama incar, sayang sekali, mulai sekarang saya berhenti jadi dokter."

"Oh... Kamu mengancam Mama?"

"Saya nggak pernah mengancam siapapun. Saya hanya melakukan apa yang memang mau saya lakukan."

"Ternyata kamu memang tidak tahu diri, ya, Daf?" Emira mengalihkan pandangannya pada kaca. "Susah-susah saya lahirkan kamu dengan keadaan terbatas. Tapi, sedikit pun kamu tidak pernah ada niatan membalas kebaikan saya?"

Kali ini Dafa tertawa. "Di dunia ini nggak ada ibu yang membesarkan anaknya dengan menuntut balasan."

Emira menoleh sekilas dan memberikan kode pada sekumpulan pengawal yang berdiri di belakang. "Cambuk dia!"

"Di dunia ini—"

Detik selanjutnya Dafa hilang keseimbangan. Punggungnya seketika mati rasa. Sambitan demi sambitan telak menyakiti kulit tubuhnya. Membuat lukanya beberapa bulan silam yang belum mengering kini kembali terbuka. Dafa berusaha menahannya sekuat yang dia bisa, tapi dia tak sanggup lagi menahan rasa nyeri yang kian menusuk-nusuk itu. Pada akhirnya tubuhnya merosot jatuh ke bawah.

Revenger CriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang