36. The Punishment

1.3K 116 34
                                    

Malam hari biasa dilakukan Dafa menghabiskan waktunya di markas bersama Bian dan Robin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam hari biasa dilakukan Dafa menghabiskan waktunya di markas bersama Bian dan Robin. Pekerjaan seperti ini sudah biasa di hidupnya. Duduk di depan layar komputer menekuri pekerjaan dari client. Berurusan dengan segudang sistem-sistem perusahaan, database, dan jaringan-jaringan rumit lainnya. Bahkan membongkar data-data milik lawan perusahaan client untuk memenangkan tender dan segala macamnya. Tak jarang dia melakukan pencurian data dari perusahaan yang bernilai milyaran demi para ­client-nya.

Ya, apapun Dafa lakukan. Diam-diam—sejak bangku SMA—dia mulai menyukainya. Pelajaran seperti komputer, teknologi, data-data informasi, dan segala hal berbau perusahaan beserta sistem dan jaringannya sudah menarik minatnya sejak dulu. Tapi, dia punya kuasa apa untuk masuk ke dalam jurusan yang ditentang mati-matian oleh ibu dan keluarganya. Segerombol orang yang menobatkan diri mereka sebagai dokter. Kalangan besar bertitel Dawson—yang bahkan membangun rumah sakit ternama di Jakarta dan London sana. Gelar yang turun-temurun semenjak nenek moyang kakeknya—Frank— dan seluruh saudara-saudara besar kakeknya. Hingga kini bergeser padanya, Darian, dan saudara sedarah mereka dari kalangan Dawson lainnya—yang membuat Dafa benar-benar malu menjadi salah satunya.

"Hei, Boss! Lalat masuk! Hap." Suara melengking Bian terdengar dari kejauhan.

Dafa mendongak dan menampilkan wajah siap membunuhnya. "Apaan, sih? Berisik. Kerja sana. Gue potong gaji lo nanti!"

"Ya elah, hari gini masih aja ngancem Boss kita ini, Bin." Bian mengalihkan pandangan pada Robin yang selalu berkerja secara rajin dan patuh. Sangat berbeda dengan Bian yang malas-malasan. "Bin? Ah, elah, si manusia robot sama aja. Masih betah nangkring depan komputer. Mata gue udah mau nangis ini."

Robin menguap sebentar dan mengucek matanya. "Lo abis ngomong sama gue, Bi?"

"Nggak! Gue ngomong sama robot!" Kali ini Bian merengek. Matanya menatap Dafa memelas. "Boss, laper. Nggak adakah makanan untuk kita?"

Dafa berdecak malas. Meraih sembarang lembar uang di bawah lacinya dan melemparkannya pada Bian. "Nih, beli tiga bungkus."

"Gila. Dua puluh ribu ini, Boss. Dibagi tiga dapat apaan?"

"Ck... Protes aja! Cari uang sendiri sana!" ketus Dafa pada Bian. Meski begitu akhirnya membongkar dompet dan mengulurkan selembar merah. Barulah Bian menjerit senang.

"Yeay, nah ini baru sedikit bener, Boss. Lebih bener lagi dua lembar, Boss. Banyak kayaknya di dompet tadi." Bian menaik-naikkan alis menggoda. "Nggak sekalian bonus gitu?"

Dafa langsung menutup dompet secepat kilat. Enak saja. Dikasih hati malah minta jantung. "Nggak, buat kalian itu aja cukup."

Bian melengos.

Sedangkan Robin malah tertawa. "Udah mending dikasih jatah sama Boss. Maruk amat lo, Bi. Buruan sana cari nasi goreng. Laper gue."

Bian mengangguk-angguk dan berlarian keluar. Tak lama setelahnya terdengar gebrakan pintu. Lalu suara jeritan Bian melengking begitu saja. Dafa dan Robin yang baru akan melanjutkan pekerjaan seketika berpandangan tak mengerti. Semua langsung terjawab ketika Bian malah berlarian kembali ke dalam ruangan. Raut wajah Bian tampak ketakutan. Membuat Dafa dan Robin makin bingung.

Revenger CriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang