44. The Days with You

1.3K 150 54
                                    

Sudah sejak beberapa jam lalu Finza tak konsen menekuri pekerjaannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah sejak beberapa jam lalu Finza tak konsen menekuri pekerjaannya. Sketsa di hadapannya sudah nyaris penuh. Tapi, beberapa kali diulangnya hasil coretan itu. Selalu saja ada yang salah. Pada akhirnya Finza akan menyerah dan merobek kertas tersebut. Lalu menggantinya dengan yang baru. Begitu terus berulang-ulang. Sambil sesekali Finza mendongak. Sebentar-sebentar menatap jam di dinding. Oke, sebentar lagi.

Anna yang kebetulan berada beberapa langkah dari Finza tersenyum. "Ada apa, Mbak? Kayaknya dari tadi lihat jam terus."

Detik selanjutnya Finza tertawa. Menutupi rona merahnya dan berdeham-deham. "Eh, nggak ada apa-apa, kok. Apaan, sih, Na?"

Anna masih mengulum senyum. "Beneran? Hmm... Pasti mau nge-date lagi ya sama Mas Dan?"

Senyuman Finza langsung surut. Tapi, sebisa mungkin dipaksakannya senyuman itu. Lalu suara dering ponsel menyeruak tiba-tiba. Finza mengalihkan pandangan pada ponselnya yang tergeletak di atas meja.

Dafian Dawson Aku udah di luar

Finza mengedip membaca pesan yang ada di layar ponselnya. Astaga, laki-laki ini. Bahkan mereka berjanji pukul 7 malam nanti. Dan ini masih jam 5 sore. Tapi sekarang Dafa sudah ada di sini.

Tanpa pikir panjang Finza menyambar tas selempangnya, lalu berlarian turun. Sambil sesekali dia berteriak, "Na, aku pergi dulu!"

Lalu sahutan Anna kembali terdengar. Dan Finza tak peduli. Sekarang dia sudah berlarian keluar dari butik. Benar saja. Beberapa langkah di depannya, alphard hitam itu terparkir. Si pengemudi keluar dengan kacamata hitamnya—seperti biasa, tak pernah berubah.

"Hai," seruan Dafa terdengar. Kemudian laki-laki itu menurunkan kacamatanya. "Aku beneran datang, kan? Bahkan dua jam sebelum waktu janjian kita."

Finza terkekeh. "Wow, aku nggak nyangka kamu secepet ini. So great"

Dafa menyenderkan tubuh jangkungnya pada pintu mobil. "Then? We should go?"

"Of course," Finza baru akan melangkah ketika tiba-tiba Dafa membukakan pintu, lalu meraih sebuket mawar putih untuknya.

"Silahkan masuk, Tuan Puteri."

Finza tersenyum malu, mencium buket mawarnya, dan beranjak. Tepat saat itu dia berbalik menghadap Dafa. "Wait—Tuan Puteri?"

Dafa terhenyak kaget. "Kenapa? Nggak suka?"

"Terlalu pasaran. Another name?"

Dafa mengedikkan bahu. Dulu dia memang sering memanggil Sessa seperti itu. " Mmm... Sang Ratu?"

Finza mengernyit aneh.

Dafa menggeleng tak yakin. Sampai akhirnya dia mencetus. "Queen?"

Lalu Finza terlonjak riang. "Nice! Mulai sekarang, panggil aku Queen."

Revenger CriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang