Dafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suara sirine ambulans terdengar meraung-raung dari kejauhan. Azel yang hari ini mendapat jatah jaga malam segera berlarian begitu didengarnya teriakan beberapa perawat yang saling bersahutan memenuhi lobi. Satu dari mereka berlari tergesa-gesa ke arahnya. Raut wajahnya sulit dijelaskan. Membuat Azel tergopoh-gopoh bangkit tanpa mempedulikan bekalnya yang masih tersisa separuh di meja.
"Dokter Azel, Dokter Azel, sepertinya yang ada di ruang UGD itu sepupu Anda."
Tanpa sadar teriakan Azel meninggi. "Siapa, Sus?! Siapa maksud Suster?!"
"Mbak Finza, Dok. Mbak Finza."
Azel tertawa sekilas. "Sus, jangan bercanda! Sepupu saya sekarang di luar ko-"
Sebelum Azel menyelesaikan kalimatnya, sosok Rino muncul setengah berlarian. Seperti yang sudah-sudah, raut wajah yang ditampilkannya juga sama. Tampak sebuah kecemasan dan kekhawatiran yang tercetak di sana.
"Sepupu lo, Cel. Sepupu lo."
Detik selanjutnya Azel berlari kesetanan, cepat menerobos orang-orang yang tengah berlalu lalang menuju UGD. Di sana sekumpulan perawat tampak memberi pertolongan pertama. Tak butuh waktu beberapa detik bagi Azel untuk tahu siapa perempuan yang tergeletak tak sadarkan diri di sana.
Langkah Azel nyaris limbung. Begitu pula pertahanannya yang kian hancur. Ditatapnya Finza yang begitu menyedihkan. Tubuh dingin dan nyaris beku. Lalu luka goresan di dahinya yang mengalirkan darah. Bahkan bajunya yang-sungguh Azel tidak pernah tahu Finza mempunyai koleksi baju yang seperti ini. Seumur hidupnya Azel tidak pernah melihat Finza dengan kondisi seperti ini. Tidak pernah sekali pun.
"Dok," suara salah seorang perawat mengagetkannya.
Azel meraih stetoskopnya dengan gemetaran. "Biar saya periksa dulu."
Si perawat mengangguk, memberi ruang pada Azel.
Azel dengan hati-hati mulai mengecek kondisi Finza. Sesekali bibirnya bergumam sembari dia mulai memeriksa. "Cha, lo kenapa? Kenapa lo kayak gini? Jawab gue, Cha!"
Azel meremas jas putihnya frustasi. Perlahan mengobati luka-luka dan memar kebiruan di sekitar dahi Finza yang entah terjadi karena apa. Sepertinya bekas benturan. Untungnya tidak begitu parah dan Azel bisa menanganinya. Lebih dari itu, dia khawatir dengan kondisi Finza sebenarnya. Begitu banyak pertanyaan bermunculan di benak Azel sampai Azel sendiri tak tahu harus berbuat apa.
Maka, dia hanya bisa melangkah keluar setelah pertolongannya selesai. Nanti Finza akan segera dipindahkan ke ruang rawat. Tapi, Azel sama sekali tak tahu harus bagaimana. Dia terlalu kalut. Pada akhirnya Azel mendudukkan diri di salah satu bangku panjang rumah sakit.
Rino muncul beberapa saat kemudian, "Minum dulu," katanya sambil mengulurkan sekaleng colla.
"Thanks," Azel menjawab lirih. Pandangan matanya masih sayu. Dimainkannya sekilas colla di tangan sampai akhirnya Azel meneguk sekali-dua kali.