29. The Touche

1.4K 137 30
                                    

Dafa mengerjapkan mata pelan-pelan saat dirasanya pening yang menyambar kepalanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dafa mengerjapkan mata pelan-pelan saat dirasanya pening yang menyambar kepalanya. Pandangan matanya masih kabur. Perih di sekitar wajahnya tak juga hilang. Sementara sakit di punggungnya masih menjadi-jadi. Bahkan untuk bergerak rasanya sulit.

Sekali lagi Dafa mengerjap. Membiasakan sinar benderang lampu kamar yang menyala terang. Dafa mengernyit aneh. Tak biasanya dia menyalakan lampu kamar seterang ini. Sama sekali bukan dirinya. Dafa tidak tahu mengapa tiba-tiba kamarnya—yang biasanya dipenuhi bau asap rokok— sekarang berubah menjadi wangi semerbak harum mawar.

Akhirnya kebingungan Dafa terjawab saat bunyi derit pintu terdengar memekak telinga. Di sana tampak punggung seorang perempuan—tengah berbicara dengan pengawal yang bernama Liam. Dafa bangkit untuk meyakinkan diri bahwa perempuan itu masih sama dengan yang ditemuinya semalam. Arniafinza.

Keyakinan Dafa semakin pasti ketika Finza berbalik dan mata mereka benar-benar bertemu. Beberapa detik keduanya hanya diam. Sampai akhirnya Finza menghembuskan nafas panjang dan meletakkan baskom di tangannya. Berikut dengan sekotak obat P3K.

"Tadi aku minta tolong Liam buat cariin kotak P3K." Finza menjawab tanpa menatap mata Dafa.

Dafa sendiri hanya diam. Duduk di sudut ranjang dengan kepala menunduk.

"Aku mau obati luka kamu. Kalau dibiarin, nanti bisa infeksi." Finza mengalihkan pandangannya pada kamar Dafa yang berantakan. "Ada handuk kecil? Ck... Mana bisa ada handuk bersih di kapal pecah ini!"

"Lo nggak perlu repot-repot." Dafa berniat bangkit. "Gue nggak apa-apa!"

Finza menatap wajah Dafa yang dipenuhi memar kebiruan. Lalu bibirnya yang sobek dengan banyak bekas darah di sana. Bahkan kakinya yang kini pincang. Dalam keadaan semenyedihkan ini dia masih bersikap sombong. Finza tidak tahu sama sekali dengan jalan pikirnya.

"Aku cari handuk di kamarku dulu. Nanti aku ke sini lagi." Setelahnya Finza berbalik membuka pintu kaca belakang yang langsung berhubungan dengan balkon menuju kamarnya sendiri.

Hanya beberapa detik sampai Finza kembali dengan handuk berwarna baby pink di tangannya. Dafa masih diam di depan ranjangnya saat Finza menyeretnya untuk kembali duduk.

"Duduk," Finza berujar lirih. Tanpa menatap matanya.

Dafa hanya diam. Membiarkan Finza berlaku sesukanya. Sekarang perempuan itu sibuk mencelupkan handuk ke dalam air hangat. Lalu membersihkan luka-luka di area pipinya. Membuat Dafa meringis menahan sakit dan meremas sepreinya kuat-kuat.

"Akh—" suara Dafa tertahan.

Finza masih sibuk membersihkan luka-luka di wajah Dafa. Ketika tiba-tiba tangan laki-laki itu menyambar jemari Finza dan meremasnya kuat-kuat. Membuat Finza mematung dan menghentikan gerakan tangannya. Lalu mata mereka berpandangan.

"Sakit." Dafa bergumam susah payah. Matanya sarat akan kepedihan. "Bisa lebih pelan?"

Finza tak menjawab apapun selain menuruti perkataan Dafa. Dengan gerakan lembut dihapusnya seluruh darah yang merembes di permukaan bibir Dafa. Lalu dioleskannya obat merah dengan tangan Finza sendiri. Tak lupa krim pada bagian pipi Dafa yang memar-memar.

Revenger CriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang