Jam di dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Tapi, Dafa tak bisa memejamkan matanya sama sekali. Lagi-lagi perkataan tadi menghantuinya terus menerus. Arniafinza, Dafa tidak pernah tahu bahwa perempuan itu berpikir sebegitu buruk padanya. Setelah apa yang terjadi, Dafa tahu dia pantas menerima semua hukumannya. Tapi, tidakkah pantas perempuan itu terus menghakiminya tanpa tahu sebabnya?
Dafa menggeram marah. Nyaris melempar rokoknya ke lantai. Sejak dulu bahkan hingga sekarang. Semua orang terus berkomentar seenaknya. Tidakkah mereka tahu apa yang tengah mereka katakan? Tidakkah mereka tahu bahwa ada luka yang timbul dari setiap perkataan mereka? Tidakkah juga mereka tahu setiap kata yang keluar dari mereka mampu menimbulkan jerit kesakitan tersendiri untuk batinnya?
Sejak kecil Dafa selalu menahannya. Mati-matian dia menahan semua hinaan dan cemohan itu demi Darian. Hanya demi saudaranya itu dia rela menanggung seluruh perkataan orang-orang. Tapi, hingga kini semua telah mencapai batas dan Dafa benar-benar muak.
Ponselnya berdering begitu saja. Dafa bangkit dari kasurnya. Punggungnya sakit dan dia tidak peduli sama sekali. Matanya menyalang penuh pada ponsel di atas nakas. Di sana tertulis nama mamanya.
Kamu dimana? Cepat ke ruangan Mama sekarang.
Dafa menatap layar ponselnya yang menampilkan sederet pesan dari Emira. Mungkin jarak mereka dekat. Hanya berlapis beberapa dinding dan jengkal kaki. Namun, beginilah kenyataan hubungan mereka. Dafa tahu, selamanya dia adalah bawahan dan Emira adalah atasannya. Dia adalah robot dan mamanya adalah penguasa. Dan seluruh perintah dari penguasanya harus dia laksanakan. Dulu, mungkin dia bodoh. Sekarang tidak akan pernah dia biarkan dirinya menjadi bodoh sekali lagi.
Tidak akan pernah.
Lalu suara ketukan pintu terdengar. Dafa mendengus dan melangkah perlahan menuju pintu. Di sana beberapa pengawal berdiri di depannya. Dafa tahu Emira mulai membuat sebuah rencana. Entah apa yang akan dilakukannya.
"Mau apa kalian?"
Seorang ber-tag name Andre membungkukkan badan. "Selamat malam Tuan Muda, Nyonya Besar memanggil anda."
Dafa melirik ponselnya yang kembali berdering. Kemudian menonaktifkannya. "Kamu tahu ini jam berapa? Saya harus tidur."
"Tapi, Nyonya Besar berpesan-"
"Kenapa?" suara Dafa meninggi. "Apa Nyonya Besar takut kalau kelakuan aslinya ketahuan oleh Kakek? Makanya dia harus memanggil saya tengah malam begini?"
"Tuan Muda, kami tidak bisa menjelaskannya."
"Bullshit, kalian semua! Saya mau tidur! Jangan ganggu saya lagi!" Dafa baru akan menutup pintu kamar ketika sekumpulan bawahan Andre menahannya. "Please, saya mau tidur. Jangan ganggu saya sekarang. Bilang sama Nyonya Besar kalian, saya akan menemui dia besok."
Dafa tahu itu semua percuma. Karena detik selanjutnya Andre dan seluruh kawanannya sudah menyeret dia pergi. Tepatnya menuju ruangan Emira. Untuk kesekian kalinya Dafa diperlakukan seperti ini. Tapi, menolak pun percuma. Dafa tidak akan didengarkan sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenger Cries
RomanceDafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...