Setengah jam lebih Finza merenung di dalam kamar mandinya. Memikirkan Dafa dengan segala sikap aneh membuatnya bingung. Beberapa menit yang lalu laki-laki itu bersikap romantis dan memanjakannya. Lalu beberapa menit berselang dia berubah lagi. Menjadi pribadinya yang tertutup dan jauh. Seperti yang dulu-dulu.
Finza meraih kimono mandinya dan memakainya super cepat. Pelan diraihnya pintu keluar. Seperti dugaannya, Dafa merenung di tepi ranjangnya. Dengan mata yang mengkilat tajam ke bawah.
Menyadari kedatangan Finza membuat Dafa segera bangkit. Lalu memasang senyum seadanya. "Udah selesei?"
"Mmm... udah," lirih Finza sambil mengeringkan rambutnya.
Dafa nyaris beranjak saat Finza menahan lengannya. "Tadi, kenapa?"
Hening. Dafa hanya memasang senyuman dan menggeleng.
"Kamu nggak suka?"
Dafa menghembuskan nafas panjang. "Bukan. Maafin aku, Arnia. Tadi—aku hampir kebablasan."
"Aku—nggak apa-apa," Finza menunduk. "Maksud aku, bukannya nggak apa-apa, ya? Lagipula, kita udah—"
"Iya, aku tahu." Dafa mengalihkan wajahnya.
Finza menggigit bibirnya. "Sebenernya kamu mau ngomong apa? Kenapa nggak to the point, aja?"
"Aku—belum siap." Dafa kembali menatap Finza. "Bisa kita tunda dulu? Sampe aku adaptasi sama semua ini?"
"Hah, maksud..." Finza berdecak memaklumi. "Aku ngerti maksud kamu. Nggak apa-apa, kok."
Dafa mengacak rambut Finza yang basah. "Thanks," lirihnya sambil menangkup kedua pipi Finza berniat mengecupnya. Sebelum itu terjadi, suara keritan pintu terdengar dan bayangan Fien muncul dari belakang.
"Kak, sarapannya udah si—" Fien mengerjap-ngerjap panik. Spontan mengalihkan wajahnya ke samping.
Finza terlonjak. Buru-buru mendorong bahu Dafa menjauh. Dafa meringis kesakitan. Finza tak begitu peduli. Lalu kembali ditatapnya Fien di depan.
"Astaga. Maaf, gue harusnya ketuk pintu dulu. Sorry—"
"Nggak apa-apa, Yen. Nanti Kak Incha turun ke bawah."
Fien mengedikkan bahu dan mengangguk. "Oke," jawabnya sambil melirik Dafa sekilas.
***
Hal yang paling tidak disukai Dafa adalah jam-jam makan bersama. Entah itu sarapan, makan siang, ataupun makan malam sekalipun, Dafa tidak menyukai. Karena artinya dia harus bergabung dengan keluarga Finza. Tentunya dia harus mengikuti segala obrolan mereka. Paling tidak sekadar berbasa-basi untuk menunjukkan rasa sopannya. Meski Dafa tahu dia paling tidak bisa melakukannya.
Lalu setiap hari dia harus melewati saat seperti ini. Berpura-pura memasang seulas senyum di depan keluarga. Kemudian memakan makanannya dengan lahap seolah makanan di depannya makanan terenak yang ada. Dafa tidak bisa merasakannya dengan baik. Semua terlalu asing meskipun ada Finza di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenger Cries
RomanceDafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...