Merasa gerah, Dafa melepas masker mulutnya dan membuangnya ke arah tong sampah. Tak luput juga dengan kacamatanya yang dia tanggalkan. Sepertinya sekarang suasana sudah aman. Jadi, dia bisa berjalan dengan tenang.
Dafa melangkah pelan-pelan menyusuri koridor. Setidaknya sekarang dia sudah cukup tenang. Arniafinza itu... Ternyata cukup menyenangkan juga. Dafa tersenyum tipis mengingat percakapan konyolnya tadi. Coba Finza tahu siapa lawan bicaranya. Dafa berani bertaruh pasti yang dia dapat hanya caci maki. Senyuman Dafa luntur mengingat fakta itu.
Dafa masih terus mengingat-ingat percakapan tadi saat tiba-tiba jalannya mulai tak fokus. Dan dia menubruk langkah seseorang. Ponselnya jatuh ke bawah. Lalu tergelincir tak tentu arah. Dafa masih berusaha mencerna apa yang terjadi ketika seseorang yang menubruknya menunduk mencoba mengambilkan ponselnya. Kemudian dengan tergesa mengembalikan ponsel itu ke tangan Dafa.
"Maaf saya nggak sengaja. Saya buru-buru." Begitulah kira-kira yang diucapkan laki-laki berjas putih tersebut.
"Nggak apa-apa. Saya yang sa—" Dafa mendongak dan dia langsung tercekat saat mata elangnya beradu dengan mata di hadapannya.
Lalu dunia serasa menghitam. Dafa seperti kembali pada masa itu. Saat mata di hadapannya memancarkan kenangan-kenangan yang dia pendam rapat-rapat. Dan perlahan kini terbuka satu per satu. Memori yang sempat dia simpan kemudian membuncah bersama.
Dafa merasa waktu berhenti. Hingga suara ponselnya yang kembali meluncur untuk kedua kalinya terdengar membuatnya kembali berdiri. Mencoba melemparkan kenangan itu jauh-jauh. Tak peduli dengan apa yang laki-laki di hadapannya itu tafsirkan. Sekarang yang ada di pikirannya hanyalah mengubur semuanya kembali.
Dafa meraih ponselnya gemetaran. Berusaha bersikap tak peduli. Sembari mengencangkan topinya. Bermaksud untuk segera mengakhiri perjumpaan mereka. Sampai satu suara itu memecahkan segalanya. Membuatnya kembali terlempar pada kubangan masa lalu.
"Dafian..."
Hening.
"Masih ingat gue?"
Suara itu lirih. Nyaris tak terdengar. Namun begitu tegas dan sarat akan makna di dalamnya. Dafa menggertakkan gerahamnya dan mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Maaf, Anda salah orang."
Setelah mengucapkannya, Dafa mengambil langkah cepat. Berusaha menghindar. Berlari sekencang-kencangnya menjauhi realita. Seperti yang selalu dilakukannya. Bersembunyi dan berlari. Sampai tak ada yang berhasil menemukannya.
Pandangan Dafa mengabur. Tapi, dia terus melarikan diri.
Dia—Azel.
Ya, Azel. Sahabatnya yang paling berharga.
"Dafian Wiranata! Shit!" teriakan Azel kembali bergema. Jauh lebih tegas dari yang tadi. Sekarang suara itu semakin dekat. Dan langkah kaki di belakangnya terdengar bersahutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenger Cries
RomanceDafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...