"Gimana kondisi Dan, Om? Apa Papa cerita sesuatu ke Om?" tanya Dafa ketika keesokan harinya menemui Ello secara diam-diam.
Ello kembali tersenyum misterius. "Kenapa kamu tidak coba hubungi Papamu sendiri untuk menanyakannya?"
Dafa mengedikkan bahu. "Saya jarang menghubungi Papa lebih dulu. Saya takut mengganggu kesibukan beliau."
"Kenapa takut? Papa kamu tidak menggigit, kan?"
Dafa tertawa mendengar lelucon yang coba disampaikan Ello.
"Seharusnya kamu mencoba lebih terbuka pada Papa kamu. Kalau seperti itu terus, kapan kalian akan lebih akrab?"
Dafa memandang langit-langit dengan helaan nafas berat. Seumur hidupnya dia tidak pernah bermimpi untuk bisa terlihat akrab dengan papanya. Darwin masih menganggapnya sebagai anak saja sudah membuatnya bahagia. Namun terkadang dia juga ingin seperti anak-anak lain yang bisa bebas mengobrol dan bercanda ria bersama orang tua mereka. Dan Dafa tidak pernah mendapatkan hal itu. Dia jarang mengobrol dengan Darwin ataupun Emira. Hanya bersama Della dia bisa mendapatkan kebahagiaan seperti itu.
"Kalian ayah dan anak, tapi hubungan kalian seperti orang yang tidak saling mengenal," Ello memainkan jemarinya. "Maaf kalau ucapan saya menyinggung perasaan kamu. Tapi itu hanya penilaian saya saja."
Dafa tertawa gamang. "Itu memang benar, Om. Saya jarang mengobrol dengan Papa. Sekalinya ada kesempatan untuk bicara. Malah saya yang tidak tahu akan mengobrol apa dengan Papa saya. Hubungan kami memang begitu, Om. Aneh." Dafa mengedikkan kedua bahunya. "Berbeda sekali dengan hubungan Om dan Azel."
Ello hanya tertawa sembari memeriksa kertas-kertas di mejanya. "Sejak kecil Azel memang lengket dengan saya. Dan setiap saya melihat dia. Saya seperti melihat diri saya sendiri sewaktu muda. Meski ada beberapa bagian dari diri Acel yang diwariskan dari Mamanya. Tapi selebihnya Azel memang dominan saya."
Dafa hanya mengangguk-angguk.
"Lagipula kamu juga cerminan dari Papa kamu. Bukankah saya pernah mengatakan itu?"
"Ya, Om memang pernah mengatakannya." Dafa memaksakan seulas senyum. "Banyak orang yang pertama kali melihat saya juga langsung berkata seperti itu. Tapi, entah kenapa, bagi saya rasanya tetap jauh. Tidak seperti ayah dan anak lainnya."
"Ah, itu perasaan kamu saja." Ello menyedekapkan tangannya. "Padahal, Om lihat Papa kamu sudah mulai berusaha. Kamu saja yang jangan terlalu menutup diri seperti itu."
Dafa terkekeh. "Saya tahu, Om. Saya akan berusaha," Lalu mata Dafa kembali terfokus. "Lalu bagaimana keadaan Dan sekarang?"
Senyuman Ello mengembang. "Om dengar keadaan Darian semakin membaik. Dalam masa penyembuhannya dia sudah mulai banyak beraktifitas."
Tanpa sadar air mata Dafa nyaris meleleh. "Dan baik-baik saja?"
Ello mengangguk dengan senyuman.
"Saya benar-benar senang, Om." Dafa menundukkan wajah. Berusaha menahan sesak yang kini merambati hatinya. "Saya ingin bertemu dengan dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenger Cries
RomanceDafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...