Finza meletakkan beberapa potong piyama yang tadi diambilnya dari dalam almari. Saat dia berbalik, Dafa masih di sana. Duduk merenung di atas ranjangnya. Tatapan matanya kosong, hampa, dan tak berarah sama sekali. Seluruh bajunya basah kuyup. Begitu juga rambutnya. Lebih parah lagi, luka lebam-lebam bermunculan di tubuhnya.
Finza menghembuskan nafas panjang. Dia tahu. Sepenuhnya tahu dan melihat dengan jelas apa yang barusan terjadi. Pertengkaran hebat antara Eza dan Dafa. Seharusnya dia marah. Marah pada setiap tingkah mereka—yang bahkan jauh lebih kekanakan dari pada dirinya sendiri. Tapi, rasa marahnya telah menguap. Hilang tak bersisa. Hanyalah hampa dan kepedihan yang menyayat-nyayat hati yang kini dirasakannya.
"Baju kamu basah, ganti yang kering," ujar Finza dingin. Jauh lebih mengerikan daripada dirinya yang biasa.
Dafa mendongak ke atas. Menatap pada manik mata Finza—yang memancarkan kilat kekecewaan.
"Aku—"
Finza mengangkat telapak tangannya ke udara. Pertanda dia telah marah. Seumur hidupnya, dia jarang marah. Tapi, semenjak mengenal laki-laki ini, emosinya selalu berperang. Jika dulu hidupnya selalu bahagia dan ceria, bahkan tak pernah mengenal kata sedih. Sekarang sebaliknya. Dafa telah menyeretnya ke dalam lubang hitam laki-laki itu.
"Dengerin aku bicara!" tukas Dafa. Tak kalah dingin.
Finza masih tak menjawab. Dengan kasar dilemparkannya sepotong piyama ke atas pangkuan Dafa. Hening beberapa saat di antara mereka. Sampai akhirnya Finza menyumpah karena Dafa tak kunjung mengganti pakaiannnya. Sekarang dia melangkah mendekati Dafa. Mata mereka menyalang satu sama lain. Dan Finza tak peduli, dengan kasar ditariknya kemeja yang dikenakan Dafa. Lalu dilepaskan satu per satu kancing yang melekat di sana. Sementara Dafa, masih diam dalam kepasrahannya.
"Jadi ini—" suara Finza tersendat begitu berhasil melepas pakaian di tubuh Dafa. "Ini alasan kamu bertindak sok suci di depan aku?!"
Dafa menatap Finza dalam diam.
Finza melemparkan kemeja di tangannya dan menginjak-injaknya di lantai. "Coba jelasin ke aku, apalagi yang nggak aku tahu di sini?! Apa?! Apa, Daf?!"
Tak ada jawaban.
"Jawab pertanyaan aku! Jawab!" Finza menarik nafas dalam-dalam. "Rahasia apalagi yang kamu punya, ha? Rahasia apa?"
"Udah," Dafa menjawab selirih angin.
"Kamu kasih ginjal kamu? Oke." Finza tersenyum miris. "Untuk Darian. Semua hal kamu lakukan untuk Darian."
"Iya, kan? Kamu dulu yang bilang aku harus lakuin itu," suara Dafa kembali tenang.
Finza mengernyit bingung.
"Sepatu," Pandangan Dafa kembali kosong. "Kamu masih ingat tentang adik dan sepatu? Aku pernah tanya sama kamu. Dan kamu ngasih jawaban yang benar. Sekarang, aku udah lakuin permintaan kamu." Senyuman Dafa terukir. "Makasih, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenger Cries
RomanceDafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...