Sinar cahaya menelusup melalui kaca jendela. Finza mengerjapkan matanya beberapa kali. Kantuk yang menderanya masih terasa. Lalu pening menyambar-nyambar bagian kepalanya diiringi dengan sesekali denyutan. Finza mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tersentak kaget mendapati Dafa sudah duduk di hadapannya. Tepat di kursi klien. Masih dengan tubuh topless yang sama. Kali ini dia tertawa renyah sembari kedua tangannya bersedekap.
"Lo suka ileran ya kalau tidur?"
Finza mengerjap kaget.
Dafa mengacungkun jari telunjuknya dan menunjuk sudut bibir Finza dengan gerakan memutar. "Basah, tuh."
Seketika jeritan Finza terdengar memenuhi ruangan. Secepat kilat dirabanya sudut bibir dan menemukan bagian yang basah itu. Ya, basah. Sungguh, seumur hidupnya hanya Eza-yang punya hobi sama saat tidur- dan Fien saja yang tahu kalau dia ini tukang iler. Bahkan Faza si mulut rombeng itu tidak pernah melihatnya bangun tidur dengan kondisi air liur yang menempel begini. Tidak, karena pasti dia akan menyebarluaskannya kepada orang-orang. Dan sekarang... Sial. Laki-laki ini bahkan melihat dengan kepalanya sendiri.
"Ihh... Ini bukan iler! Jangan sembarangan kamu!"
Dafa mengedikkan bahu santai. "Terus apa dong namanya? Pulau basah?" Senyuman nakalnya tiba-tiba muncul. "Jadi, Dan udah tahu kalau calon istrinya itu tukang ileran? Atau belum tahu? Apa perlu gue yang kasih tahu sama Dan?"
Finza kembali menjerit. "Aku nggak pernah-Ugh!" Bibir Finza mencebik. Sisi kekanakannya keluar. Sekarang dia berlarian turun menuju kamar mandi-membasuh bibir, berkumur-kumur, lalu kembali lagi tepat di hadapan Dafa.
"Kamu habis mandi?" tanya Finza bingung setelah mencium aroma manis dari kamar mandi butiknya.
Dafa mengangguk santai. Dia menunjukkan handuk yang melingkar di lehernya, lalu mengacungkan apelnya tinggi. "Gue pinjem handuk lo, terus minta apel dari kulkas. Laper."
Detik selanjutnya pekikan Finza kembali terdengar. Membuat Dafa mengelus dada saking kagetnya.
"Ihh... Handuk aku! Jijik! Nggak boleh pake handuk aku!" teriak Finza sambil menarik-narik handuknya dari leher Dafa. "Balikin sekarang! Jangan sentuh-sentuh handuk aku!"
"Ck... pelit banget!" Dafa melempar handuk milik Finza. Lalu memakan apelnya dengan tenang. "Bikinin gue makan, dong. Laper."
"Apa? Kamu laper?" Finza berkacak pinggang. "Kalau laper, pulang sana. Tempat ini bukan restoran. Mending kamu minta tolong sama pelayan kamu di rumah yang bejibun banyaknya. Jangan minta aku! Aku nggak bisa masak! Nanti kamu sakit perut."
"Nggak apa-apa kalau yang bikin lo. Nggak bakal sakit perut." Suara Dafa terdengar penuh kesungguhan. Membuat Finza seketika memalingkan wajahnya yang merona.
"Aku lagi nggak mood masak. Udah sana, kamu pulang!" Finza bangkit dan menarik Dafa. Lalu mendorong-dorong punggungnya keluar. Seketika semerbak wangi menguar dari punggung laki-laki itu. "Tuh kan, ih! Kamu pakai sabun aku juga, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenger Cries
RomanceDafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...