24. The Voice

1.2K 113 8
                                        

Sudah hampir tiga hari dilalui Finza mendekam di rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah hampir tiga hari dilalui Finza mendekam di rumah sakit. Dan selama itu pula Finza merasa bosan. Dia benci terkekang seperti tahanan di sini. Apalagi harus berurusan dengan obat-obatan serba pahit yang menyakiti tenggorokannya. Ya, dia benci rumah sakit dan segala macam jenis obat. Sayangnya, dia tidak bisa membenci para dokter yang bekerja di sini. Tentu saja karena orang-orang berjas putih itu kebanyakan adalah kenalannya. Sebut saja Mauren, Azel, Om Rio, dan Om Ello. Oh, bahkan Darian calon suaminya juga seorang dokter. Tidak ada alasan bagi Finza untuk membenci rumah sakit.

Finza menghembuskan nafas panjang dan melemparkan majalahnya. Diliriknya sekilas buah-buahan segar yang terhidang di meja. Belakangan ini dia tidak nafsu makan. Semua makanan terasa hambar dan pahit di mulutnya. Akhirnya Finza akan memuntahkannya. Dan tentu saja Om Rio akan mengomel panjang lebar nanti.

Suara ketukan pintu terdengar dari kejauhan. Finza menoleh sebentar dan langsung memekik kaget saat melihat wajah Divia dan Faza muncul dari sana. Tentu karena Faza memasang wajah horor seakan mau menakut-nakutinya. Untuk kesekian kalinya, Finza menghembuskan nafas panjang.

"Ugh, nggak usah sok nyeremin deh, Fa!" teriak Finza jengkel. "Kamu pikir aku bakal kaget lihat muka jelek kamu?!"

Faza mencibir. Merampas sebuah apel dari meja dan melemparkan diri ke atas sofa. Lalu tawanya terdengar kencang. "Yeah, gue pikir lo amnesia atau apa. Makanya gue takutin. Biar nanti lo kaget terus ingatan lo balik gitu."

Finza berdecak. "Nggak ada yang amnesia di sini."

Divia menyenggol lengan Faza dan memasang wajah jengkel. "Tuh kan, aku bilang jug apa. Incha malah makin sakit kalau lihat kamu."

Faza menatap Divia keki. Kemudian ke arah Finza. "Diih... Lo kira gue virus apa?"

Divia meraih sebuah kursi dan menyeretnya mendekati Finza. Tak lagi mau menggubris Faza. Dari pada nanti kalau ditanggapi dia nyinyir terus, lebih baik didiamkan saja.

"Cha, kondisi kamu gimana? Udah mendingan?"

Finza memaksakan seulas senyum. "Udah, kok. Udah lebih baik. Apalagi sejak Dan dateng nengokin aku. Sekarang aku udah fit lagi."

Di belakang sana Faza mencibir. Raut wajahnya langsung penuh dengan kerutan. "Idiiih... murahan banget ya Cha obat lo?"

Seketika Finza melotot menatap Faza. "Heh, apa kamu bilang? Obat aku murahan? Maksud kamu Dan?"

Faza bangkit menoyor kepala Finza pelan. "Abisnya isi otak lo cuma Dan mulu. Emang nggak ada yang lain?"

"Sakit!" Finza meringis. "Awas kamu, Fa! Aku laporin ke Om Rio karena udah ganggu pasiennya yang lagi istirahat!"

Faza berkacak pinggang. "Ayo sana aduin! Dasar tukang ngadu! Pantesan dari dulu nggak pinter! Orang di otak lo aja isinya cuma Dan!" lalu tampang Faza berubah sinis. "Atau jangan-jangan ulangan matematika lo jawabannya Darian semua, ya? Ampun, pantes ancur nilai lo."

Revenger CriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang