Dafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Keesokan paginya pukul 8 tepat Darian sudah sampai di Jakarta Medical. Dengan jas suit rapi yang melekat di tubuhnya, dia berderap pelan memasuki lingkungan barunya. Sepasang matanya bergerak mencari-cari sosok Finza yang berjanji akan menemuinya di sini.
Beberapa menit kemudian barulah perempuan itu menampakkan diri. Seulas senyum terbit di wajah Darian tatkala melihat Finza berlari-lari kecil ke arahnya. Dress biru laut yang dikenakannya membuat tampilannya semakin cerah hari ini. Hanya dengan memandangnya saja sudah mampu membuat Darian menghilangkan segala beban di hidupnya. Dia seperti mentari, terang dalam setiap gelap datang, dan hangat dalam dingin yang menyerang.
"Sayang, aku lama, ya? Maafin, yah." Finza tertawa sambil lalu merapikan poninya yang beterbangan tertiup angin. Senyumnya masih lebar seperti tadi. Sebelah tangannya menarik lengan Darian dan memeluknya.
"Ihh... Padahal tadi aku dandannya udah cepet, loh." Finza mencebikkan bibir tidak terima. "Nanti kalau aku nggak cantik kamunya kabur. Aku kan nggak mau!"
Darian berdecak, menoleh sekilas, menepuk pipi Finza. "Siapa bilang, sih? Kamu nggak usah dandan juga udah cantik, sayang."
"Bohong!"
Suara dehaman terdengar menginterupsi kemesraan mereka. Darian dan Finza yang tadi tengah tertawa langsung menoleh. Azel berdiri di sana. Tepat di hadapan mereka. Finza hanya bisa berdecak melihat kelakuan sepupunya yang dengan santai mengumbar kemesraan di tempat umum begini.
"Bentar, ini jam berapa ya, Cha?" Azel pura-pura melirik jam di pergelangan tangannya. Lalu dia mengernyit jengkel ke arah Finza. "Masih jam delapan, loh. Udah mesra-mesraan, aja. Ckck..."
"Emang kenapa, Cel? Cemburu ya nggak ada pegangan?" balas Finza tertawa. "Makanya cari. Jangan jomblo terus."
Azel mendesis. "Hih, sok tahu!"
Darian tertawa melihat Azel yang masih terus memasang tampang sok menggurui. Seperti guru tengah menceramahi muridnya yang berbuat salah. Melihat itu, sontak membuat Darian tak henti mengulum senyum.
Andai saja kehidupannya sama seperti mereka. Andai saja dia memiliki apa yang mereka miliki. Andai saja semesta ini mau mengerti. Betapa dia menginginkan semua keadilan terjadi. Tapi, begitu matanya kembali pada realita, canda tawa itu seperti omong kosong belaka. Mana ada kebahagiaan di hidupnya jika di setiap bangun tidurnya selalu ada kebencian yang terus menggerogot. Membunuhnya perlahan dan tak pernah pergi.
"Dan! Dan!" Finza melambaikan tangannya ke depan. "Halo? Sayang?"
Pada detik ketiga kesadaran Darian telah kembali. Dia mengerjap dan menoleh bingung. Dahinya mengernyit heran.
"Tuh, kan, kamu ngelamun lagi!" Finza berdecak. "Jangan bengong terus. Nanti ada lalat masuk, loh."
Darian terkekeh. "Aku nggak ngelamun. Lagi mikirin sesuatu aja."