Dafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suara percikan air terdengar mengalun dari dalam sana. Dafa menggeliat pelan dalam tidurnya. Merasakan tempat tidur yang tiba-tiba kosong. Masih dengan mata terpejam, dirabanya tempat tidur. Tidak ada siapapun di sampingnya. Tapi, Dafa bisa merasakan kehangatan yang tersisa di sana.
Menahan kantuknya, Dafa memaksakan diri bangkit. Matanya belum sepenuhnya fokus. Tapi, dia bisa melihat Finza dari kejauhan. Tengah memakai mukena putihnya. Kemudian beberapa detik kemudian dia sudah hanyut dalam ibadah.
Dafa tertegun di tempat tidurnya. Pemandangan seperti ini tidak biasa di hidupnya. Keluarganya kini penganut Islam. Tapi, tetap tidak begitu tahu Islam itu apa. Frank adalah non Islam yang menikah dengan wanita Islam Indonesia. Sedangkan Darwin, meskipun memilih mengikuti ibunya yang juga Islam, tetapi dia juga tidak melakukan kewajibannya. Di rumah, hanya Della saja yang selalu tekun menjalankan ibadah. Sedangkan yang lain jarang melakukannya.
Dulu, Dafa sering melakukannya. Ya, sholat. Dia selalu penasaran dengan apa yang dilakukan Della. Setelah mengetahui bahwa berdoa itu memberikan keajaiban, dia mulai belajar bagaimana cara berdoa yang benar. Dia mencari tahunya sendiri. Diam-diam sering melakukannya setiap hari. Tapi, kebiasaannya itu mulai hilang setelah tujuan hidupnya juga hilang. Tepatnya ketika dia masuk SMA. Hidupnya kacau dan berantakan. Seluruh kepercayaannya hilang dan dia takut mempercayai Tuhan.
Dafa masih terus memandangi Finza sampai perempuan itu selesai berdoa dan melipat mukenanya ke atas almari. Lalu dia bangkit menatap Dafa yang terdiam seperti patung. Finza berdecak dan melirik jam di sampingnya.
"Biasanya kamu bangun jam berapa?"
Dafa terkesiap dan menjawab lirih, "delapan."
Finza masih terus menggenggam tasbih di tangannya, sebelum akhirnya dia memberanikan diri bertanya. "Kamu—nggak sholat?" tanyanya selirih angin. Takut menyinggung perasaan Dafa.
Dafa berdeham pelan. "Aku—jarang sholat."
"Kamu sama kayak Dan, ya?" Finza mendudukkan diri di samping Dafa. "Dulu pas pacaran, Dan juga selalu nolak kalau aku ajak sholat bareng. Katanya, dia sholat di rumah aja. Akhirnya dia nunggu aku di luar masjid. Padahal, aku tahu, kok, sebenernya di rumah pun dia nggak sholat, kan?"
Dafa hanya memasang senyum tipis. "Sebenernya dulu aku sholat. Tapi, sejak SMA, aku udah lupa gimana caranya."
"Islam harus sholat, Daf."
Dafa hanya tersenyum gamang. "Di rumah, cuma Mama Della yang selalu tekun beribadah. Sedangkan kami nggak begitu mengenal Tuhan. Mama Della selalu menghargai keputusan kami dengan nggak memaksakan kehendak kami."
Finza tertegun mendengar penuturan Dafa. Hanya senyuman yang dia berikan. Dafa membalas senyuman itu. Jemari Finza menepuk-nepuk pipi Dafa lembut. "Aku tahu kamu masih capek banget. Gih, tidur lagi. Aku bangunin lagi nanti kalau udah jam sembilan."