Chapter 1 - 1

29 6 1
                                    

"Beserta embun yang jatuh
Bunga jingga kemuning terima
Bersangga pada irama syahdu
Berkisah tentang mulamula"
-~*~-

Cahaya syamsi nan syahdu telah datang bersama berkah bagi bumi serta penghuni di bawah mata langit. Hijau pepohonan menjulang tinggi seiras bukit-bukit yang dipertuankan kepada Raja Agung Negeri Sihir. Kemakmuran rakyat yang mengalir sepanjang sungai dan sejauh bayu menghantarkan sejuk rinai semalam ke depan pintu gerbang istana yang berdaulat.

Pada tembok yang membentang di sudut dalam istana. Lukisan mantra dengan cendera mata tertanam turut menambah keistimewaan dari paviliun yang khusus dipergunakan bagi ritual pergantian tahun.

Dayang-dayang terpilih akan berpegangan tangan mengikuti sang Putri yang membawa nampan dan cangkir emas, menyeret ujung gaun berkain sindai ke taman istana.

Selama menapaki taman inti, sepasang iris nan sayu akan memilah hati-hati setiap nasturtium yang tumbuh dan menemukan sekuntum jingga kemuning yang menyimpan embun. Lantas jemari lentiknya akan diulurkan untuk mengutip embun dari ujung mahkota bunga ke dalam cangkir emas tanpa mematahkan tangkai yang rapuh.

"Mari pergi ke istana Raja."

Putri berbalik dengan antusias diiringi dayang-dayang yang berjalan dan setengah menari, mengikutinya bak kupu-kupu mabuk mengitari bunga terharum, terpesona pada salah satu keindahan utama di Negeri Sihir.

Penjaga berpakaian rapi membuka pintu istana dengan teratur, memberi hormat saat Putri beserta rombongan pelayannya melangkah masuk. Di aula utama istana, Raja berdiri di depan pintu ruang penuangan yang hanya memperkenankan darah keturunan. Tentu semua orang kecuali Raja dan Putri, harus menunggu di luar dalam kepatuhan hingga ritual suci itu diselesaikan.

Putri membawa cangkir emas masuk mengikuti Raja, berjalan mendekati kolam kecil di tengah ruangan seraya membacakan permohonan agar Negeri Sihir tetap berjaya dan terlindung dari malapetaka, kemudian menuangkan setetes embun ke atas kolam. Cahaya putih nan lembut pun berpendar seiring gelombang ringan dari tepi kolam menyebar.

Setelah cahaya itu meredup, sang Putri berbalik badan dan pergi tanpa kekata. Senyum yang sempat singgah di paras cantiknya sebelum cahaya muncul, kini memudar tanpa jejak. Raja menyadari keanehan itu tanpa niat menegur. Beliau menemani putri satu-satunya keluar dari ruang penuangan, meninggalkan berjuta rahasia di balik pintu yang tertutup sepi. Keheningan tidak menjalar cukup lama setelah Putri kembali tersenyum dan mengajak rombongannya pergi.

"Sangat melelahkan. Kakiku rasanya akan patah," keluh Dayang yang berjalan paling belakang. Dia adalah dayang baru yang dikirim untuk melayani istana Putri.

"Aku paham apa yang ingin kau katakan." Dayang lain menimpali dengan suara kecil. Dia melirik halaman istana yang semakin jauh dan menghela napas lega. "Jangan katakan sesuatu yang dapat menyinggung Raja."

"Kamu sama sekali tidak mengerti! Kita adalah penyihir. Untuk apa berjalan kaki dari istana utama ke istana terpencil. Tidak satu pun dari kita yang manusia biasa."

Dayang yang berjalan di depan sontak menoleh dan memelototi. "Perhatikan kata-katamu!"

Tangannya mengepal di balik punggungnya yang kurus. Parasnya tampak lebih muda dari yang lain, tapi tidak tentang senioritas. Orang tuanya telah melayani kerajaan untuk waktu yang lama dan ia mengetahui beberapa hal secara halus. Dalam istana ini, dia yang paling berhati-hati.

"Aku lelah. Tidak mau berjalan lagi."

Dayang baru itu membacakan mantra perpindahan dan meninggalkan rombongan, mengagetkan dayang lain dengan percikan cahaya yang tiba-tiba muncul dan memudar, meninggalkan niat untuk menyusul. Namun tidak ada di antara mereka yang berani menentang perintah untuk menemani Putri kembali ke istananya.

"Pergilah dan kembali ke istana tiga hari lagi. Malam besok akan ada perayaan di pusat kota. Ajak keluarga kalian untuk memeriahkan," ucap sang Putri. Senyuman lembut tak lekang dari bibirnya yang ranum. Tetapi kebahagiaan tidak sampai ke ujung matanya. Ekspresi itu membuat gentar para dayang yang sempat berpikir untuk masuk ke istana dan mengeluhkan ketidaksenangan mereka kepada Tuan Putri.

Satu per satu dayang pergi dengan kepala tertunduk. Takut untuk menatap sepasang mata hitam langit yang akan menenggelamkan cahaya bulan tanpa bersisa. Kecantikan dan eleganitas yang secara misterius terlukis lembut di wajah Putri sejak lahir, tidak pernah sekalipun dapat dibandingkan dengan sesiapa selain menyandingkan putri dan ibunya, mendiang Ratu yang sempat memangku takhta kerajaan sihir. Dari sang Ratulah tradisi mengutip serta menuangkan embun nasturtium bermula. Perihal alasan, tiada berani menerangkan. Sebab menguak suatu tersembunyi, ada resiko untuk kehilangan jalan kembali.

Putri Candramaya, yang tak tahu mengapa ia dinamakan demikian setelah kepergian ibundanya di masa lalu, membawa dirinya sendiri ke balik pintu istana. Kekosongan yang ia rasakan kontras dengan berbagai ornamen berharga dalam ruang. Tidak perlu waktu lama baginya menemukan jalan ke kamar dan membaringkan diri. Bersembunyi di balik tirai ranjang yang enggan tersingkap saat ia bangkit dan duduk di tepian dengan tangan menahan perhiasan kepala.

"Apa yang seharusnya aku perbuat?" gumamnya seorang diri.

Dia menjatuhkan perhiasan secara acak dan meremas tirai ranjang hingga meninggalkan bentuk saat dilepaskan. Air mata seketika menetes pada tirai saat ia menunduk. Dalam kegelapan, suara yang menahan tangis terdengar gelisah dan penuh keraguan.

Putri Candramaya memandang kilau lentera sihir di dekat jendela yang berkelap-kelip dimainkan angin.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang