Pada sisi lain dalam kota, ujung sepatu hak tinggi Belatik menendang kepala pelayan yang tergeletak dengan darah menetes ke sebuah cangkir.
Dia mengangkat cangkir itu dan mencicipi isinya saat seseorang mengetuk pintu. Belatik memicing pada kusir kuda karena ritualnya terganggu.
"Katakan." Tanpa melepaskan tatapan tajamnya, Belatik menunggu kusir kuda memberi hormat.
Cairan merah mengaliri bibirnya dan uban di rambutnya menghitam. Dia beranjak, dengan senang mengagumi pantulan diri di kaca. Tetapi keriput di wajahnya tidak memudar seperti sedia kala.
Ekspresinya berubah kusut dan sontak dikuasai amarah. Belatik mengambil tempat lilin dan memecahkan kaca dengan sekali lemparan.
"Aku tidak bisa begini terus!"
Belatik meraih pecahan kaca dan menggenggamnya erat. Meski kepalan tangannya mulai meneteskan darah, dia tidak merasakan sakit. Itu adalah efek samping dari ritual gelap yang dia jalankan dan kusir kuda tahu jelas.
"Dasar bawahan tidak berguna!" Belatik mencabik-cabik wajah pelayan yang terbaring dan terus memaki, "Mati saja kau!"
Mata Belatik memerah seiring cipratan mengenai wajahnya. Namun kusir kuda yang membelakangi pintu sama sekali tidak mengubah mimik wajah. Dia tetap menunduk hingga Wanita Bangsawan yang dia layani mampu menenangkan amarahnya.
Belatik bersandar di kursi panjang dan menyeka darah.
"Nyonya tidak perlu marah. Jika cara ini tidak berhasil, masih ada yang lain."
Ucapan kusir kuda menyadarkan Belatik.
Mungkin benar bahwa dia telah kehilangan jejak laba-laba raksasa di hutan. Tetapi dia juga tahu tentang ritual yang berhasil membagi kekuatan laba-laba raksasa pada anak pelayan. Dia tahu kekuatan itu disimpan oleh Amarilis untuk memperpanjang usia. Seandainya Amarilis mau berbagi, Belatik tidak akan menggunakan cara yang kejam.
"Kamu benar. Aku akan pergi ke sana dan mengambilnya sendiri."
Dalam benaknya, Belatik telah membayangkan percakapan panjang yang harus dia diskusikan dengan Amarilis.
Begitu Belatik bangun, kusir kuda mengejarnya yang pergi ke luar. Dengan cepat dia menghentikan langkah Belatik yang hendak membuka pintu.
"Tunggu, Nyonya. Ada surat yang harus saya sampaikan." Kusir kuda segera menyerahkan amplop dengan lambang kerajaan.
Belatik tertegun karena dia telah menanti surat balasan sejak beberapa hari lalu.
"Apakah Raja akhirnya setuju memberiku gelar yang lebih tinggi?" ungkap Belatik tersenyum antusias.
Meski demikian, senyum itu pudar lebih cepat. Hanya menyisakan bibir yang mencibir malas.
"Argh! Aku muak. Mereka meminta laporan langsung di istana atas masalah yang dibuat penyihir bodoh itu!" Belatik memijit kepala dan melirik kusir kuda. "Panggil kembali ketiga pelayan di rumah Nyonya Amarilis dan katakan saja bahwa pusat kota sedang membutuhkan banyak pelayan. Aku akan berangkat setelah ketiga pelayan itu sampai."
Kusir Kuda memberi isyarat bahwa dia mendengarkan perintah dengan patuh dan akan menjalankannya.
Raut wajah itulah yang dia tunjukkan sebelum dia membelakangi Belatik. Cengiran keji muncul dan tersembunyi saat ia yakin jebakannya telah menangkap mangsa besar. Dia berangkat melewati hutan dengan tawa yang mencurigakan.
Ketika kusir Kuda tiba dan menyampaikan perintah, Nyonya Amaranta sedang duduk di ruang tamu, memperhatikan pengunjung dengan tenang dan lemah.
"Nyonya, ini adalah maksud Nyonya Belatik. Semoga Nyonya dapat memaklumi," ungkap Kusir Kuda seraya memberi hormat ala bangsawan.
Amaranta yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba menoleh ke arah Candramaya yang baru masuk dari pintu belakang.
"Bawa juga pelayan itu bersamamu," ucap Ny. Amaranta, membuat yang lainnya terkejut dan saling memandang.
"Maaf, Nyonya. Bukan saya bermaksud lancang. Tetapi Nyonya Belatik hanya meminta tiga pelayan. Jika dia ikut, maka Nyonya akan sendirian tanpa pelayan."
Nyonya Amaranta menyela, "Tidak masalah. Bawa dia pergi juga. Saat ini aku tidak membutuhkan pelayan."
Perubahan sikap Amaranta yang drastis mengarahkan Candramaya pada satu dugaan. Dia melirik Ayna yang bersembunyi dengan tenang.
Dari kejauhan, Ayna memberitahunya tanpa suara bahwa dia harus pergi.
Candramaya menangkap maksud Ayna dan turut berangkat bersama Kusir Kuda.
Setelah perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba di kota.
Kusir Kuda dengan jujur menekankan bahwa dia hanya memberi Candramaya tumpangan. Dia menurunkannya di dekat yayasan pekerja.
Ketika kereta kuda itu melaju semakin jauh, Candramaya menghilang dengan mantra sihir dan muncul di belakang Siti yang sedang menyusun dokumen.
Walau terkejut, Siti segera memeluk Candramaya dan mengungkap kesedihannya atas bencana yang telah menimpa keluarga mereka.
"Bu Siti," panggil Candramaya.
Siti melepas dekapan dan menatap langsung ke mata Candramaya yang dia kira keponakannya. Tidak ada air mata atau kehangatan di sana.
"Terima kasih." Candramaya membalas tatapan Siti.
Di sana Siti menemukan perasaan yang asing. Akhirnya menyadari keindahan paras yang dimiliki gadis di depannya sangat berbeda dari orang-orang di desa. Jika mereka memiliki paras menawan, kecantikan yang dimiliki Candramaya seakan menegaskan bahwa dialah sumber keindahan itu. Hal ini membuat Siti tertegun hingga tidak tahu harus menghindar.
Setelah membacakan mantra, Candramaya menggenggam tangan Siti dan berucap, "Tapi saya bukan Jingga."
Simbol sihir bermunculan dari tangan Candramaya, mengubah sosoknya dalam ingatan Siti menjadi wujud Jingga yang sebenarnya.
Saat Siti terbangun dari pengaruh mantra sihir yang membuatnya melupakan Candramaya, langit telah kembali pada kuasa senja dan Candramaya diam-diam kembali ke rumah Nyonya Amaranta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...