Chapter 27 - 3

0 0 0
                                    

Dares mengeluarkan serangkaian peta dan catatan, menunjukkannya kepada prajurit yang diam-diam menoleh, mencoba mencari arti di balik senyuman yang dipaksakan tuannya.

"Negeri Sihir ini." Dares mengucapkan satu demi satu kata, seolah menelaah amarah sekaligus ucapan yang harus dia jelaskan. "Penguasa, bangsawan, benar-benar menganggap rakyat jelata hanya semua belaka. Ada begitu banyak informasi yang tanpa izinnya, tidak akan pernah sampai. Bahkan di penghujung nyawa sekalipun!"

Prajurit di samping mendengarkan dengan cermat. Namun kalimat sederhana itu pun tidak dapat dia pahami. Seperti menekankan apa yang baru saja Dares kecamkan.

Mereka yang bukan bangsawan diatur sedemikian rupa, hanya untuk mendengarkan perintah yang disetujui Raja begitu masuk ke istana. Bahkan praduga terburuknya pun tidak dapat dia katakan di sana. Keadilan yang tengah dia usahakan hanya menguak lebih banyak ketidakadilan.

Dares pada akhirnya masih bangkit dan meninggalkan prajurit di ruangan itu sendirian. Langkahnya mengikuti cahaya rembulan dari jeda istana. Dia menyadari seberapa besarnya kekuatan yang mengendalikan negeri ini.

Tahta yang ditakdirkan untuknya menjadi penguasa di Negeri Sihir. Cinta masa kecil yang telah mengecewakannya dengan kebohongan. Putri Mahkota yang menghilang bagai ditelan bumi. Segala nikmat duniawi itu telah mengaburkan pandangannya seperti kilau sang purnama, membuat dia meninggalkan kegelapan yang senantiasa mengikuti.

Latar belakang, keluarga kandung, prajurit perbatasan yang berjuang bersama dia dahulu. Semua pertimbangan itu seakan tersibak saat burung hitam yang hampir tak berwujud terbang ke arahnya dan berubah menjadi selembar sindai hitam. Pada kain itu bertuliskan pesan yang membuat Dares tercengang.

"Tanah Peperangan yang Tercela. Akar daripada Penyihir Gelap."

Setelahnya kain sindai itu melayang dan jatuh seperti pasir hitam, tersapu angin yang memerihkan mata.

Dares mengucek mata dengan satu tangan, sehingga mata yang lain dapat mengamati lebih cermat sosok prajurit yang diam-diam keluar dari istana, menuju ke makam bangsawan dengan sembunyi-sembunyi.

Anehnya lagi, prajurit itu tiba-tiba berhenti dan menengadah. Lantas berbalik sebelum sempat memasuki taman bangsawan. Tidak mampu memperhatikan lebih jauh, Dares mengabaikan dugaannya yang ambigu.

Malam itu dibiarkannya berlalu dengan tenang. Sampai di subuh hari, Lio yang dalam hendak melaporkan sesuatu, menemukan prajurit yang dia kenal sedang terbaring di depan ruangan Panglima. Melihat prajurit itu adalah penyihir yang sempat berkonflik dengannya, dia menyeretnya ke titik teleportasi istana sembari berdecak kesal.

Cahaya sihir teleportasi berkilau dan membawa keduanya. Seperempat jam kemudian, pintu penjara diketuk. Arifin yang sedang meletakkan botol ramuan, terkejut oleh pintu yang ditendang dari luar. Tampak Lio memapah seseorang yang tidak sadarkan diri masuk.

Arifin segera menghampiri dan terkejut saat mengenali prajurit yang dibopong Lio.

"Jangan bilang kau yang melakukannya?" tuduh Arifin.

Mata Lio berputar dengan cepat, mendengar kecurigaan Arifin, ada sedikit penyesalan telah membawanya ke sini. Seharusnya dia membawa prajurit itu ke ruang tabib istana.

Walau ragu, Arifin tetap memeriksa prajurit yang terbaring dan memantrakan sihir pengobatan. Cahaya hijau yang muncul dari mantra, sedikit demi sedikit menunjukkan debu keperakan. Dengan cepat, Arifin berhenti dan melirik sekilas kepada Lio yang tidak memedulikannya sama sekali.

"Kau tampak banyak pikiran," kata Arifin, mengambil sebotol ramuan dan cahaya sihir kehijauan kembali muncul, membalut luka di punggung prajurit yang terbaring.

Seperti tak mendengar apapun, Lio tenggelam dalam pikirannya sendiri. Baru-baru ini, dia menerima perintah dari Panglima untuk menyelidiki sesuatu di luar ibu kota. Dengan kemampuan yang dia miliki, ini tentu adalah tugas yang mudah. Namun petunjuk yang dia temukan terus mengarah pada wilayah pedesaan di arah Timur Laut di dekat aliran sungai bercabang.

Masalahnya bukan jarak yang jauh. Bagi para prajurit di Negeri Sihir, jarak dapat dipersingkat dengan batu teleportasi. Dia bisa saja berada di sini dan tiba di sana pada keesokan harinya. Tetapi wilayah yang menjadi sasaran penyelidikannya berada di bawah kekuasaan bangsawan yang dilindungi secara khusus oleh Menteri Perang.

Sebagai prajurit sekaligus keturunan bangsawan, Lio dengan waras tidak akan mau menyinggung salah satunya. Dia berharap untuk menyampaikan informasi yang dia miliki saat ini kepada sang Panglima dan mengerjakan tugas yang lain. Pagi ini, dia justru harus berpapasan dengan prajurit yang tidak dia sukai, bahkan tidak dapat menemukan Panglima di ruangannya.

"Selesai," Arifin beranjak dengan wajah kaku, menepuk bahu Lio yang seketika tersadar dari lamunan. "Bawa dia pergi dengan hati-hati. Kali ini, bisa saja dia bangun dan memukulmu," ujar Arifin seraya menunjuk pakaian prajurit yang lusuh.

Lio mengangguk, menyanggupi dengan tenang saat mengangkat prajurit itu ke pundaknya.

Melihat bagaimana Lio pergi dengan patuh, Arifin dapat menduga keruwetan dalam benak prajurit itu mungkin telah sulit dia uraikan. Saat memperhatikan Lio keluar dari pintu, Pandangan Arifin mengabur dengan mata rubah perak yang muncul.

Sebuah tempat yang terperosok dan asing. Seperti kedalaman hutan yang seringkali dia dan tuannya lewati tanpa memandang kembali. Dia melihat bekas perkelahian di berbagai sisi dinding tertutup oleh debu-debu sihir yang terus meredup. Di tengah ruangan yang kumuh, cairan kemerahan terus mengalir dari sosok pemuda yang terkapar di lantai, menahan rasa sakit, terus gagal untuk beranjak dan berakhir di sana.

Ramalan masa depan itu seketika menyentak Arifin kembali pada kesadarannya dan bergegas mengejar Lio yang hampir meninggalkan penjara rahasia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang