Chapter 9 - 2

3 3 0
                                    

Cahaya matahari tampak teduh di mata Candramaya. Tetapi tidak pada tubuhnya yang melemah begitu ia berlalu dari lindungan atap. Beberapa langkah setelah memasuki hutan, ia menguak ketenangannya dan bersimpuh di bawah pohon yang cukup besar. Dia memegangi dada, mencoba merasakan detak jantung yang lemah. Pandangannya kian kabur seiring ia melangkah.

Samar-samar suara yang ia kenal tanpa rasa akrab, berbisik tepat di belakangnya.

"Dengarkan derap irama dari belantara. Suara yang paling ingin kamu dengar tengah memanggil namamu dengan penuh makna." Nyanyian itu dijeda tawa.

Sambil melanjutkan kalimat terakhir, makhluk tak terlihat itu menyandar pada punggung Candramaya hingga terasa berat seorang pria dewasa.

Candramaya mencoba menoleh. Tapi dia bahkan tak berkutik. Saat ia berusaha mengerahkan kekuatan fisik untuk melawan tekanan makhluk itu, kawanan burung-burung yang terbang menuju ujung Barat membuat dia memelakkan mata. Karena satu di antara burung-burung kecil yang tampak kasihan dan tak memiliki kekuatan untuk pulih selain terbang itu adalah miliknya. Burung hijau permata yang memiliki sihir tingkat tinggi dan dapat membunuh sepuluh prajurit dalam sekali ayunan sayap.

Teringat akan nasib orang-orang yang ditinggalkannya di negeri sihir, Candramaya tanpa sadar berteriak.

Makhluk itu dengan cepat membungkamnya. Burung-burung yang melintas agak terkejut dan sempat menajamkan mata ke dalam hutan, mencari sumber suara yang menakuti mereka, tanpa dapat menemukan Candramaya yang bersandar di bawah pepohonan nan lebat.

"Putri Negeri Sihir!" makhluk itu menekankan identitas Candramaya yang sebenarnya, "Kamu bahkan tidak percaya pada ayahmu yang memegang kekuasaan tertinggi. Untuk melengserkannya, itu masih sangat jauh dari urutan takdir. Sedangkan takdirmu sudah datang. Bersiaplah untuk pergi setelah tujuanmu tercapai. Seseorang yang terolehnya kamu memohon, telah keluar dari area para penyihir. Demi menemukanmu, menginginkanmu!"

Usai berkata, makhluk itu menghilang bersama beban yang sempat tersemat, mengacuhkan Candramaya yang seorang diri di hutan penuh liku.

Tanpa dikabarkan, hatinya sendiri memberitahu. Ia menoleh ke arah Timur dengan berlinang air mata, menjulurkan tangan untuk mengambil kayu kering di tanah yang mengotori seragam pelayannya. Sebelum malam tiba, ia memang berencana pergi dari hutan yang menyimpan aura misterius itu.

Ketukan pintu tak diindahkan oleh Prasetyo yang sibuk membaca dokumen di ruang tamu. Ia mendekatkan lilin untuk melihat lebih jelas. Usia dan pekerjaan membuat penglihatannya kian pudar. Suatu saat nanti, mungkin takkan lagi baginya membaca di bawah sorot cahaya lilin.

Candramaya yang enggan menunggu, membuka lebar kedua sisi pintu dalam sekali hentak, menarik masuk kayu bakar dalam karung. Serta menutup kembali pintu utama seakan tiada seorang pun yang duduk di ruangan itu. Raut wajahnya menunjukkan firasat kurang baik bagi Prasetyo yang hendak membuka suara untuk mengomeli.

Ia dibiarkan sendirian menarik kayu bakar itu ke dapur sampai Lila yang sedang memasak, menyadari kedatangannya.

Lila menepikan sendok yang sedang mengaduk sup dan melewati Nindi yang hanya melirik sekilas.

Makan malam sedikit tertunda karena Lila yang lupa menyiapkan bumbu saat membantu Candramaya.

Selain Prasetyo yang terus mengomeli, Ny. Amaranta belum keluar dari kamarnya sejak beberapa waktu yang lalu. Candramaya pergi ke depan kamar dan mengetuk pintu tanpa ada interaksi langsung. Beliau hanya menjawab singkat sampai Candramaya akhirnya menyerah untuk membujuk wanita tua itu.

"Di mana Nyonya?" tanya Prasetyo yang mulai tak sabaran. Dia telah melirik makanan di atas meja dengan penuh minat sejak tadi.

"Nyonya berkata bahwa dia sedang sibuk dan akan segera bergabung untuk makan malam setelah urusannya selesai, " jawab Candramaya dengan senyum ramah.

Prasetyo bangkit dari kursi dan memukul meja hingga kedua pelayan di sampingnya terperanjat. Mereka tidak tahu bila lelaki itu dapat menjadi sangat temperamental.

Candramaya mengira akan dapat menemukan petunjuk yang berguna. Namun setelah Prasetyo pergi ke kamar Ny. Amaranta. Sepuluh menit kemudian, mereka kembali dan melanjutkan makan malam seperti biasa.

Belum ada rahasia di rumah yang menunjukkan jejaknya hingga makan malam berakhir. Candramaya sedang mencuci piring di belakang ketika ia melihat anak kecil yang bersembunyi di bawah kabinet dengan pintu sedikit terbuka. Ayna terlihat seperti anak pada umumnya yang ketakutan dan sedang bersembunyi dari hal mengerikan. Bagaimanapun dia mengundangnya keluar, Ayna tetap bertahan di sana.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang