Candramaya mundur dan memberi ruang, melangkah keluar dari lingkaran sihir setelah memutuskan kain dingin yang mengikat tangan Calon Pengantin.
Tanpa menyampirkan tabir kain jingga penutup wajah, ia menolehkan senyum tipis, meraih keranjang bambu di sisi kanan peraduan.
Lalu melemparkan kelopak-kelopak bunga putih ke arah Calon Pengantin yang memberontak dalam diam. Suaranya tertahan dalam lingkaran dan dia tidak bisa keluar. Dari raut wajahnya, Candramaya tahu bahwa dia meneriakkan agar lemparan bunga itu dihentikan.
Salah satu ritual persiapan telah dimulai dengan Perantara Jodoh yang melemparkan kelopak bunga berwarna-warni kepada Calon Pengantin.
Menurut aturan yang dituliskan untuknya, ritual pernikahan manusia kurang lebih sama dengan ritual pernikahan di Negeri Sihir. Dia hanya perlu menjalankannya dan menyelesaikan apa yang perlu dia selesaikan di tempat ini.
Candramaya tidak perlu memahami norma di wilayah manusia. Ia tidak meragukan bunga putih yang dilarang dalam ritual pernikahan para penyihir turut memenuhi isi keranjang hingga warna bunga lain tampak terkubur.
"Tujuh hari lagi. Bersiaplah untuk bertemu Calon Mempelai Pria."
Calon Pengantin membelalak tak percaya. Orang yang dikiranya datang untuk membawa dia kabur justru memaksanya dalam ritual. Bibir mungilnya digigit rapat dengan wajah masam, seakan tahu seberapa banyak dia berteriak pun takkan terdengar. Namun itu bukan berarti dia dapat menahan amarahnya.
Ketika Calon Pengantin bersiap untuk membentak, dia menyadari ikatan di tangannya telah jatuh. Memandang ragu pada si Perantara Jodoh yang tersembunyi di balik kain.
Sebelum dia dapat bertanya, Candramaya lebih dulu memberinya jawaban.
"Aku tidak ingin menikahkan pasangan yang tidak saling mencintai. Tapi jika tidak bisa memberikan alasan yang tepat, aku terpaksa mengikuti perintah Istri Kepala Desa dan menyeretmu masuk dalam pernikahan ini."
Calon Pengantin tertegun. Sembari melirik ke kiri, ia menjawab tanpa niat untuk melihat langsung sosok Perantara Jodoh.
"Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak kukenal."
Keraguan dari sikap Calon Pengantin memberi Candramaya keberanian untuk mencari tahu. Dia mendekat dan menurunkan kain penutup kepala. Matanya yang kecokelatan bertemu langsung dengan sosok Calon Pengantin. Dialah Jingga yang sesungguhnya dan telah menyamar sebagai asisten Bu Siti, pemuda berkaca-mata yang sempat memukuli Candramaya.
Sedangkan di sisi lain, Jingga tidak menduga bahwa Perantara Jodoh yang dikirimkan kepadanya justru adalah gadis pelayan yang telah menipu Siti dengan identitasnya.
"Kamu! Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?" Jingga menunjuk Candramaya dengan takut. Walaupun mereka sama-sama telah menipu. Namun dari apa yang dia ketahui, gadis di hadapannya kemungkinan adalah penyihir gelap yang dapat menyamar menjadi siapa pun dan pasti memiliki niat buruk.
"Aku akan memberitahu ayah kalau kamu bukan Perantara Jodoh yang sebenarnya!" ancam Jingga.
Biar begitu, Candramaya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Justru tersenyum dan berujar dengan nada provokatif hingga Calon Pengantin mengepal erat.
"Bagaimana kamu mau buktikan bahwa aku bukan sang Perantara Jodoh?" tantang Candramaya. "Menatap wajahku saja mereka tidak berani."
Jingga terbata-bata. Tanpa dikatakan pun dia tahu orang tuanya takkan percaya padanya.
"Mereka, mereka akan segera tahu!" Jingga mengambil lentera di bawah peraduan, melemparnya ke arah Candramaya yang segera melindungi diri.
Minyak dalam lentera tumpah dan membasahi lingkaran sihir di sekeliling peraduan. Cahaya kehijauan muncul sesaat untuk membuktikan adanya kekuatan sihir dalam mantra perangkap sihir. Tetapi tidak terjadi reaksi apa pun pada Candramaya yang terdiam memperhatikan minyak lentera itu menodai gelang kakinya.
"Apa yang mau kamu buktikan?" tanya Candramaya sembari mengelap minyak di kaki. Cairan yang dilemparkan padanya tadi merupakan minyak lentera yang sama dengan lentera Negeri Sihir. Itu dinyalakan tanpa api dan hidup sendiri karena berada di dekat aura penyihir.
Selain peralatan sihir, rupanya rumah itu memiliki lebih banyak hal yang tak terduga bagi Candramaya.
"Siapa kamu sebenarnya! Apakah kamu sungguh Perantara Jodoh?" Jingga menuding dengan sebuah tongkat. Ia tampak telah mempersiapkan banyak peralatan untuk melawan siapa pun yang datang.
"Ya. Aku memang hanya Perantara Jodoh." Candramaya mendekat dengan sorot mata teduh. "Dan aku tidak akan memaksakan perjodohan jika kamu memberitahu alasanmu menolak pernikahan dengan teman masa kecilmu, Putra Tunggal Kepala Desa."
Jingga kembali mengalihkan pandangannya ke kiri. Dia tidak segera menjawab seolah apa yang akan dia katakan dapat membawa pengaruh buruk atau bahkan tidak dapat dipercaya.
"Karena sudah lima tahun sejak kami terakhir kali bertemu." Jingga memilin sebuah batu hitam dalam genggamannya.
Saat Candramaya memperhatikan, ia hampir terkejut karena salah mengira batu itu sebagai miliknya. Batu hitam Kyanite yang telah hilang masih tidak diketahui keberadaannya.
"Ke mana dia pergi?"
Menanggapi pertanyaan Candramaya, Jingga menggeleng tak tahu. "Dia tidak kemana-mana. Penjaga di balai desa mengatakan dia sama sekali tidak keluar rumah. Jadi asumsiku bahwa dia sakit keras yang mengharuskannya tetap berbaring di rumah."
"Tidak ada yang mencari tahu?"
Jika menggeleng. Sedetik kemudian ia mengangguk karena teringat beberapa bulan yang lalu. Sewaktu perjodohan diungkit oleh ayahnya di depan umum, Jingga meminta sahabatnya Rio untuk menyusup ke rumah kepala desa dan mencari tahu bagaimana rupa Putra Kepala Desa yang akan dijodohkan padanya. Namun di dalam kamar, tidak ada siapa pun.
Rio tidak berhasil mengintip ke ruangan lain sebelum dia ketahuan oleh Kepala Desa. Dia akhirnya masih dituduh hendak mencuri dan ditugaskan menjaga gerbang desa selama sebulan. Keberhasilan Jingga untuk kabur dari desa juga karena bantuan Rio. Meskipun Jingga ketahuan kabur ke kota, keluarganya tidak tahu kapan tepatnya Jingga meninggalkan desa.
"Kami curiga perjodohan dengan anak kepala desa hanya alibi untuk menikahkanku pada bujang tua itu. Bagaimana pun kami mencarinya, anak kepala desa tidak pernah terlihat berada di desa ini. Kalau memang mau menikah, dia seharusnya telah mencariku sejak lama," ungkap Jingga.
Jikalau bukan takut dinikahkan dengan adik kepala desa yang bisu, dia tidak akan lari sampai harus menipu Bu Siti. Dia tahu Siti terus menunggunya tiba dari desa setelah mendapati surat. Tapi Jingga tidak bisa mengungkapkan identitas yang sebenarnya.
Setelah mendengarkan penjelasan Jingga. Candramaya tidak lagi memaksanya untuk menjalani ritual. Dia berjalan kembali ke tempat tinggal sementaranya sambil menggenggam batu hitam yang diberikan oleh Jingga.
Sepanjang perjalanan, ia akan mengingat setiap hal yang dikatakan Jingga kepadanya seraya merenungkan kesulitan yang menimpa mereka. Di tengah renungan itu, Candramaya tertegun pada hal yang tak terduga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...