Chapter 16 - 3

2 2 0
                                    

Candramaya enggan memedulikan bulir hujan dan terpaan angin yang menguntit. Setelah menemukan gubuk untuk berteduh, tetesan air dari atap yang bocor tidak membiarkannya istirahat dengan tenang.

Selagi memejamkan mata, aroma cendana menerpa bersama embusan napas yang mengenai alis, menjadi satu-satunya kehangatan di malam dingin, membangunkan mata yang terlelap.

Pemandangan berkabut tergantikan oleh sosok hitam dan tinggi di depan mata. Meskipun makhluk itu berdiri jauh darinya, Candramaya mulai merasa terintimidasi.

Sepasang mata tajam yang tersembunyi di balik helaian rambut panjang itu menatap sinis pada Candramaya. Sementara bibirnya tersenyum miring, menyunggingkan cemooh tanpa perlu diperjelas kata-kata.

Ketika Candramaya menengadah, angin malam datang pada waktunya, mengungkap paras pucat selain manusia. Aura makhluk itu meyakinkannya. Jikalau dia bukan arwah, pun bukan eksistensi yang patut berada di dunia manusia. Hanya sebersit kata raksasa dan telah membuat ia menggigil sampai tulang.

"Tidak seharusnya kamu memiliki batu itu." Makhluk itu berbicara setelah angin berhenti mengungkapkan wajahnya.

Candramaya beranjak dengan waspada, merasakan batu hitam dalam dirinya menyambut tantangan yang ditebar makhluk kegelapan. Seperti memanggil dia untuk meminjam kekuatan, melawan pria di hadapannya yang tak sedikit pun menunjukkan tanda kehidupan.

"Batu hitam telah memilihku sebagai pemilik," ungkap Candramaya. Dia menilai kekuatan yang dipancarkan makhluk kegelapan itu dengan teliti.

Cahaya sihir berpencar dan menyatu di antara pria itu saat mantra dibacakan. Mata Candramaya berkilat di bawah terpaan sihir. Dugaanya benar tentang batu miliknya yang hilang beberapa waktu lalu.

Setelah menyadari isi pikiran Candramaya, makhluk kegelapan tertawa, menghentak jauh cahaya-cahaya sihir yang redup di bawah gerimis malam. Berpindah dalam sebuah kedipan dan mencengkeram dagu gadis di dalam lingkupnya.

Dingin dari alam bawah merasuk kulit Candramaya, garis hitam yang menandakan kematian menjalar di wajahnya bersama rasa sakit dari cengkeraman. Tetapi sorot mata yang ditujukan pada makhluk itu bukan takut, melainkan amarah.

"Arogan." Makhluk itu melepaskan Candramaya, memudarkan tanda hitam di wajahnya.

Seolah tidak terjadi apa pun, makhluk kegelapan itu berbalik, mengeluarkan sebuah batu hitam yang tidak asing bagi Candramaya. Tanpa memedulikan Candramaya yang berusaha mengambil napas, makhluk kegelapan itu berkata, "Ini milikmu mulai sekarang. Jadi kembalikan batu itu padaku."

Sebuah pertukaran yang adil. Candramaya berharap dia dapat mempercayainya lebih awal. Dia membacakan mantra, mengeluarkan batu hitam dalam dirinya tanpa perlawanan. Lantas menyerahkan batu itu di bawah tatapan licik yang mengintimidasi.

Awan di langit melewati bulan yang terang, menutupinya tanpa celah.

Makhluk kegelapan itu merayakan kemenangannya, mengulurkan tangan untuk mengambil tanpa memberi. Tanpa sadar berdecak, "Sungguh naif."

Namun rembulan yang dibutakan awan tidak dapat menyaksikan hal tak terduga. Bayangan Candramaya meluas dan menyerang pria itu serupa ranting berduri. Tetapi dia masih sempat menukar batu, pergi dengan tawa picik yang menggema, mengguncang hati yang jatuh dalam penyesalan.

Bayangan penyatuan. Kekuatan yang tersembunyi setelah bulan menunjukkan cahayanya. Matanya berkaca-kaca saat dia harus menerima kenyataan bahwa dia menggunakan sihir gelap.

Tanah negeri sihir yang suci tidak dapat menerimanya. Dia ditakdirkan menempuh jalan kegelapan ketika bersumpah di bawah naungan pohon akar ketiadaan.

Di sisi lain, sosok hitam berpaling dari pohon besar. Beberapa kata yang keluar dari mulutnya tidak dapat dipahami sebagai bahasa manusia.

Sesudahnya, sosok arwah yang lemah dan putih muncul dan berlutut memohon untuk terakhir kalinya. Dia ingin mengucapkan selamat tinggal sebelum meninggalkan tanah penyatuan hidup dan mati yang memerangkapkan jiwa.

"Tahukah kau. Berapa harga yang harus kubayar untuk ini?" tanya makhluk kegelapan sembari meremas batu hitam yang didapat dari Candramaya.

Arwah Aldo tertegun dengan senyum sinis yang ditunjukkan makhluk di depannya tanpa sadar. Mengira dirinya tidak akan mendapatkan kesempatan lagi, dia hanya mengangguk patuh tanpa memohon lebih lanjut. Arwahnya perlahan menghilang setelah melangkah keluar dari batas lingkaran sihir yang hancur.

"Putri ...," bisik makhluk kegelapan saat menatapi cahaya bulan yang memantul di mata gelapnya.

Pada saat ini, dia menunjukkan sosok asli yang lebih dari kata memesona. Embun dari pohon jatuh dan menjuntai di helaian bulu matanya yang memanggil gairah. Bibir gelap dengan senyum nakal melukiskan setiap ucapan yang akan mengguncang jiwa. Sesaat tampak manis, selanjutnya berdecak sinis. Dia menghilang di pecahan ruang yang dia ciptakan sendiri dari gabungan asap.

Bulan yang tercengang oleh siluetnya dibiarkan sepi. Berlarut melewati malam yang sunyi dari baris-baris pepohonan, hingga sebuah penginapan yang telah tutup menggantungkan lampu tidur.

Seorang gadis belia, setelah mengganti dandanannya yang mencolok dengan pakaian sederhana, berdiri di depan kamar penginapan dan mengetuk pintu.

Willy yang dilanda kantuk, membuka sedikit pintu dan menjulurkan kepalanya dengan malas. Belum sempat bertanya apa yang ingin dibicarakan, Jingga menerjang masuk dan menutup pintu dari dalam.

"Apa yang?" Willy tidak tahu apakah dia berhenti karena diinterupsi atau terpana oleh paras Jingga yang merona di bawah sinar lampu. Kantuk telah meluap entah ke mana.

Jingga, setelah memastikan lawan bicara tidak bertindak di luar dugaan, mendekat dan mengecamnya dengan suara yang ditahan. Jangan sampai penjaga mengira mereka terlibat konflik.

"Kau ... di kereta kuda. Beraninya kau menciumku tanpa izin!" tuduh Jingga, menggertakkan gigi.

Sejak terbangun dan menyadari siluet Willy, dia telah mengingat sekilas seseorang yang mendekatinya saat pandangannya berkabut oleh air mata, menyisir rambutnya dan mengecup bibirnya.

Willy yang mendengar bahwa dia tertangkap basah, menoleh cepat. Secara malu-malu, dia berdehem, mengalihkan suasana. Dalam benaknya memikirkan puluhan cara untuk membantah.

Saat menoleh kembali dan menyadari jarak Jingga dapat diraihnya dalam satu langkah, dia tertawa. Dengan serta merta berkata, "Jadi sekarang aku harus minta izin?"

Jingga yang menerima candaan sebagai maksud sebenarnya, berjinjit cepat dan mundur dengan canggung, meraih gagang pintu. Dia berbalik setelah mengambil napas yang sempat tertahan, berujar seolah bukan dia yang tengah tersipu.

"Aku membalasmu kali ini. Jadi kita impas."

Sampai pintu ditutup dan semua lampu di luar kamar penginapan dimatikan. Willy masih merenungkan kata-kata Jingga di depan dokumen-dokumen yang lelah karena diacuhkan.

Salah satu dokumen tertulis kepemilikan tanah pinggiran kota atas nama Amarilis yang menjadi perhatian utama Willy sebelum Jingga mengacaukan pikirannya.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang