Chapter 13 - 2

3 3 0
                                    

"Tunggu! Apa yang kamu lihat di rumah Kepala Desa kemarin?" cegat Jingga. Karena berdiri dalam batasan, suaranya tidak keluar.

Anak lelaki yang juga mengetahui hal itu pun melangkah keluar dari lingkaran batas dan mencegah Candramaya pergi.

Candramaya berbalik tanpa melepaskan kain penutup kepala, mendekati Jingga yang menunggu dengar tergesa.

"Ada hal yang ingin kamu tanyakan?"

Meskipun tidak dapat mempercayai Candramaya sepenuhnya, Jingga tahu jelas. Saat ini hanya perantara jodoh yang dapat membantu dia sebab keyakinannya bahwa gadis bersuara lembut itu bukan manusia biasa.

"Apa kamu berhasil menemuinya?" Jingga melirik sosok Candramaya dari balik tirai ranjang yang bergantungan.

Gelengan Candramaya di balik tudung kain menjawab. Jingga mengembuskan napas yang tertahan dengan cepat. Dia telah menduga hal itu. Pasalnya, dia sama sekali tidak siap ketika Candramaya mulai berkata. Matanya merespon lebih cepat saat Candramaya membisikkan sesuatu padanya.

"Tidak mungkin!" tepis Jingga. Dia tidak bisa menerima apa yang baru saja dibisikan Candramaya padanya.

Candramaya beranjak dan berdiri di samping Jingga. Siluetnya dari balik kain membuat ia tampak kaku seperti patung kertas saat dia berdiri lurus, menekankan apa yang baru saja disampaikan Candramaya padanya.

Aura kematian, hiasan kain putih, rumah besar yang lusuh. Kepala desa yang datang dari luar rumah untuk menariknya, mencurigai rumah itu tidak ditempati oleh siapa pun, hanya dapat menegaskan satu hal.

Sahabat Jingga segera waspada ketika Jingga tidak mengucapkan apa pun dan tampak muram. Belum sempat mereka bertanya, Jingga dengan mata merah dan basah menarik Candramaya.

"Jangan pergi! Ritual ini tidak boleh dilanjutkan. Aku tidak mau mati!"

Semua orang di sana tercengang. Bahkan Candramaya yang menjaga ketenangannya pun tertegun hingga menjatuhkan keranjang bambu yang dia bawa. Kelopak-kelopak putih tumpah dan berserakan di bawah kakinya. Saat dilihat lagi, mereka telah layu bersama bunga lain.

Pernikahan yang membunuh pengantin. Candramaya berusaha mengingat informasi dari buku-buku tentang budaya manusia. Dia tidak dapat memikirkan satu pun yang berkaitan. Menyaksikan tidak ada lagi bunga yang dapat dia bawa. Dia menyampirkan keranjang dan duduk di tepi ranjang. Sekuntum kelopak putih yang masih utuh tersembunyi di balik helaian rambut Jingga.

Candramaya mengulurkan tangan, meraihnya. Namun bunga itu seolah menolak untuk disentuh. Jingga menoleh dengan bingung saat Candramaya mendekat padanya.

"Apakah kamu melihat mayat putra kepala desa?" celetuk Jingga tiba-tiba.

"Apa maksudmu!" teriak Lana. Salah satu sahabat Jingga yang sejak tadi hanya diam memperhatikan mereka.

Dia mendekati Jingga yang membalas tatapannya, lalu menyingkap tudung penutup kepala Candramaya dengan sekali hempas. Beberapa perhiasan rambut jatuh bersamaan.

"Katakan yang sebenarnya," gertak Lana. Perilaku kasarnya membuat Candramaya memberi dia lirikan penuh arti, bahkan diikuti senyuman tipis di ujung bibir. "Apakah mereka memaksanya menjalankan pernikahan hantu?"

Jingga yang terkejut dengan sikap kasar Lana, segera menariknya menjauh. Selama ini, dia tidak tahu sahabat baiknya dapat menjadi begitu agresif.

"Pernikahan hantu apa?" Anak lelaki di belakang pun turut bertanya. Keduanya memandang tiga orang yang saling menarik dan menanti jawaban.

Candramaya membetulkan hiasan rambut dengan raut tenang. Dia tidak tahu tentang pernikahan hantu. Namun dari cara mereka mengucapkannya. Dia dapat menebak siapa yang menjadi hantu dan menunggu pengantinnya di alam baka.

"Sebagai perantara jodoh yang diundang, aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Jika ada yang ingin diketahui, tanyakan saja pada calon pengantin," kata Candramaya datar.

Setelah mendapatkan sekuntum kelopak putih di bawah rambut Jingga, dia membawa keranjang bambu dan meninggalkan kamar.

Pada peraduan, sorot mata Lana tak berhenti menatap ke arah Jingga yang bergeming dengan tangan gemetar. Sekilas muncul niat untuk bertanya, tetapi waktu tidak memberi mereka kesempatan. Beberapa menit setelah perantara jodoh keluar, langkah kaki terdengar hingga ketiganya segera melompat keluar jendela. Hanya Lana yang masih ragu untuk meninggalkan Jingga sendiri di sana. Dia berdiri di dekat dinding kamar dan menguping dengan tenang.

Heru masuk dan mencari ke sana kemari seolah dia tahu ada penyusup yang baru saja memasuki kamar putrinya. Saat dia menginjak lingkaran sihir, Jingga dengan mata merah melotot pada ayahnya dan berteriak keras.

"Untuk apa masuk kemari! Apakah Ayah tidak senang pada akhirnya putrimu akan menikah!" bentak Jingga.

Heru tertegun. Bagaimanapun, itu adalah putri yang dia besarkan. Tidak pernah sekalipun berteriak seperti itu padanya. Dengan raut tersakiti, Heru merentangkan kedua tangan untuk menenangkan Jingga seperti dia menjaga anak itu saat balita. Namun Jingga menepis keras, seakan sentuhan itu dapat membakarnya.

"Jingga, putri ayah. Ayah melakukan ini demi kebaikanmu," ungkap Heru bimbang.

Bahkan hati nuraninya tahu dia sedang berbohong. Bagaimana dia bisa berpikir bahwa Jingga tidak akan pernah tahu.

"Segera batalkan pernikahan ini! Aku tidak mau dikubur bersamanya!" teriak Jingga yang sama sekali tidak menurunkan suara.

Dalam lingkaran sihir, gendang telinga Heru bergetar, begitupun hatinya yang sakit melihat penolakan putri yang dia harapkan untuk patuh dalam perjodohan.

Heru menguatkan hati, memecah semua harapan Jingga saat dia berdiri dengan tegas, berkata, "Ritual ini telah dijalankan. Siapapun yang mengacaukan pernikahan hantu akan menerima kutukan pendek umur." Setelah mengucapkan beberapa kata itu, Heru melanjutkan sembari menggenggam tangan Jingga. "Kami tidak akan membiarkanmu terluka. Setelah ritual pernikahan selesai, Kepala Desa akan menyuruh orang menggalimu keluar dan kamu hanya perlu menetap sendirian sampai akhir hayat."

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang