Chapter 7 - 2

3 3 0
                                    

Malam semakin larut. Wali kota serta pelayannya memutuskan untuk menginap.

Tengah malam, Candramaya mendengar suara benda keras yang terbanting. Jatuh hingga mengagetkan siapa pun yang terlelap dalam mimpi. Namun ia tak dapat keluar untuk memastikan apa pun karena setiap kamar pelayan dikunci dari luar.

Beberapa menit berlalu dan setelahnya, tidak ada suara apa pun malam itu. Hanya dingin yang tiba-tiba merambati lalu hilang.

Lelap tidak dapat membantu Candramaya melupakan tentang dia. Cinta yang memabukkan dirinya sendiri walau meneguk gelas kosong, meresap ke dalam hati bagai ingin menarik keluar kenangan itu pada kenyataan yang dingin.

Pikirannya mengawang ke langit-langit begitu ia terbangun dari mimpinya. Mimpi yang bagi seorang penyihir adalah ramalan masa depan justru datang ketika dia bukan lagi seorang berkemampuan sihir.

Dalam mimpi yang bahkan tidak bisa diterima nalarnya, Candramaya tidak merasakan kebahagiaan apa pun ketika Panglima yang dia puja justru meletakkan semua perasaan kasih kepadanya dan tanpa ragu mengorbankan segala kekuasaan. Sebuah kemustahilan yang takkan berani ia impikan.

Dering lonceng menyadarkan Candramaya dari kelinglungan. Ia menoleh ke arah kamar nyonya rumah yang masih berdiam setelah membukakan pintu kamarnya di awal pagi dan kembali terlelap.

Panggilan lonceng yang bukan milik Ny. Amaranta itu memanggilnya dari arah taman di belakang rumah. Di mana Prasetyo bersandar pada pohon beringin dan menggoyangkan lonceng seperti mainan.

Pandangan mereka yang bertemu saat Candramaya tiba, membuat Prasetyo menghentikan ayunan lonceng dan memberi isyarat agar Candramaya mendekat. Gadis pelayan itu menunduk cukup lama di bawah pohon beringin hanya untuk menunggu Prasetyo mengatakan sepatah dua kata alasannya membunyikan lonceng.

"Pergilah. Tidak ada gunanya kamu bekerja di sini," tegas Prasetyo bernada arogan.

Tidak sesuai dengan citranya yang baik selama ini, Prasetyo dalam setelan kasual, membanting cangkul di belakang pohon ke tanah dan hampir mengenai Candramaya. Maksudnya jelas untuk membuat dia takut.

Candramaya mengacuhkan perlakuan kasar yang diterimanya dan melangkah pergi dengan hening. Bagi dia yang terbiasa diabaikan karena sihir tersegel, manusia satu itu sama saja dengan para penyihir. Menunjukkan sifat baik pada orang yang dikagumi, lantas menjadikan sesuatu sebagai tolak ukur untuk merendahkan yang lain.

"Setidaknya aku sudah berusaha memberimu peringatan. Apa pun yang terjadi padamu nanti bukan urusanku," cibir Prasetyo selepas kepergian Candramaya.

Di dalam rumah, Candramaya sedang menyiapkan lentera yang mungkin akan dia perlukan. Kerisauan dari intuisi membuat ia tidak menyadari seorang pelayan mendekat dan memperhatikan apa yang sedang dia perbuat. Tepukan pelayan itu membuat Candramaya berbalik dan menatapnya serius.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Pelayan itu antusias. Ia melirik lentera di tangan Candramaya dengan kenangan buruk.

Bayangan manusia berjubah dan membawa lentera di ujung lorong menghampiri dia yang terbujur kaku. Pemandangan mengerikan itu tergiang kembali pada kejadian kemarin. Dia disuruh mengantarkan minuman ke kamar Ny. Amaranta pada tengah malam dan rasa takut membuatnya menjatuhkan lentera tanpa sempat berteriak. Pagi ini, dia bangun di awal fajar dan menemukan perban di kepala.

Saat Pelayan itu tersadar, Candramaya tak lagi berada di sana. Dia termangu sendirian dengan minyak lentera yang berceceran mengenai ujung sepatu.

Dari belakang, Prasetyo memanggil Pelayan itu dan memintanya membersihkan bekas minyak yang tumpah, membuat si Pelayan menghela napas lega. Untuk sesaat, ia berpikir bahwa dia kembali berhalusinasi.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Prasetyo pada pelayannya yang sedang mengepel lantai.

Pelayan itu tersenyum penuh syukur. Sejak insiden semalam, Prasetyo memberinya perhatian yang melebihi tuan kepada pelayan, membuat dia salah paham dengan maksud wali kota yang sulit ditebak. Dia beranjak dan berujar baik-baik saja.

Walau demikian, Prasetyo tampaknya tidak begitu yakin. Sehingga ia meminta pelayan itu agar kembali ke kota terlebih dahulu.

Hari masih awal, jalan begitu lapang. Seharusnya takkan sulit bagi seseorang untuk kembali ke pusat kota sebelum matahari terbenam. Pelayan itu membawa perbekalan, berjalan sendirian melewati kesunyian yang sedikit mencekam.

Matahari belum bersinar dengan terik, karenanya pelayan itu tidak menyadari embun yang tidak terlihat, membawa ia dalam kendali kegelapan. Tanpa cahaya, jeritannya bahkan tak terdengar di jalanan yang sunyi.

Di lain tempat, Candramaya sedang menata peralatan makan untuk Ny. Amaranta sembari memikirkan rencana pencariannya nanti malam.

Prasetyo terburu-buru masuk melewati dapur, menuju taman belakang. Pakaiannya tampak lusuh dan kotor. Dia mengabaikan Ny. Amaranta yang memandang aneh padanya tanpa ingin bertanya. Suatu sikap tak biasa bagi seorang wali kota yang menyukai kebersihan itu membuat Candramaya waspada. Jika terjadi sesuatu, lelaki itu yang paling harus diawasi.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang