Berbeda dengan bulan yang menunjukkan sisi terang dan menutupi sisi gelap. Malam sama sekali tidak perlu menyembunyikan apa pun jika tidak ada yang patut dirahasiakan.
Dari derit pintu yang menciut, hingga gesekan debu tanah yang berdesir. Laki-laki itu tahu begitu saja bahwa malam tidak memiliki cahaya yang nyata. Dia telah berlari mengikuti arah bintang dan masih terperosok dalam lubang yang dia gali sendiri.
Uluran dingin yang pernah menyambutnya sebagai orang berguna, menyerahkan kepingan besi kotor dari tumpukan bukti. Lelaki itu paham dengan maksud kegagalan. Namun mengingat anak dan istri yang menunggu kepulangannya atau menantikan permohonan maaf darinya, dia tidak ingin menyerah sekalipun proses interogasi di penjara kerajaan sangat brutal.
"Aku bersumpah tidak akan mengatakan satu hal pun tentangmu. Kali ini saja, biarkan aku tetap ekh." Lelaki itu jatuh di atas tanah penjara dengan mata melotot.
Seutas tali yang melingkari mayatnya ditarik. Pembunuhnya tidak ingin meninggalkan bukti. Dia meletakkan sebotol kecil racun dengan tutup terbuka dan pergi setelah memastikan tidak ada yang mengetahui kehadirannya.
"Terlalu basa-basi." Pembunuh melepaskan topengnya dan kembali menyamar sebagai petugas penjara yang tengah patroli.
Malam semakin larut bersama suara angin yang secara halus mengetuk jendela kamar seseorang wanita bangsawan.
Pelayan di sisinya yang menyadari pergerakan di jendela maju dan bertanya, "Nyonya, haruskah saya mengecek?"
Wanita bangsawan yang sedang mengoleskan ramuan di wajah berhenti. Tanpa menoleh, dia berbisik, "Katakan padanya, aku sudah tahu. Pergi dan jangan menemuiku setelah ini."
Pelayannya patuh dan membuka sedikit jendela, membisikkan pesan yang baru disampaikan Nyonya Bangsawan. Hendak menutup kembali jendela ketika tikaman pisau datang dari belakang dan membekam jeritan terakhir pelayan itu.
"Kau masih di luar? Bantu aku bereskan ini sebelum pergi," pinta Nyonya Bangsawan.
Setelah mengoleskan krim awet muda, wajahnya kembali bersinar di bawah cahaya remang. Tidak terlihat keriput di usianya yang hampir kepala lima.
Pria di luar masuk dari jendela, membungkuk kepada Nyonya Bangsawan yang bersandar dengan elegan di kursi rias. Setelah salamnya diterima, pria itu mengalihkan pandang ke mayat pelayan yang tergeletak seperti sampah.
"Pelayan-pelayan sekarang hanya membuat sakit kepala," ketus Nyonya Bangsawan, beranjak dari kamarnya dan berteriak, "Siapkan kereta kuda!"
Sementara pelayan di dalam kamar dibereskan, batu hitam bercahaya di tangan seorang gadis yang berdiri di depan rumah kastil. Lentera menyala dari dalam rumah dan seorang pelayan terkejut dengan sosok berjubah di sana.
"Siapa di sana?" sorakannya yang kencang hampir mengagetkan Nyonya Amaranta di meja makan.
Sinar lentera menguak wajah Candramaya di balik jubah, kecantikannya yang memancar di naungan malam membuat pelayan itu menjatuhkan lenteranya dan berlari masuk ke rumah, membanting pintu setelah berteriak, "Penyihir! Ada penyihir!"
Kedua pelayan yang penasaran hendak keluar dan melihat dengan mata sendiri tentang penyihir yang dirumorkan. Tetapi Ny. Amaranta yang baru selesai menyantap makan malam, menghentikan mereka dengan satu tangan.
"Dorong aku keluar," pintanya pada salah satu pelayan.
Pelayan yang lain mengikuti Nyonya Amaranta di belakang dengan gugup.
Sejak beberapa hari yang lalu, sebuah rumor timbul karena seorang kusir kuda tidak sengaja melewati hutan yang dilarang untuk mengejar waktu, mendengar pasukan penjaga hutan berteriak bahwa penyihir tidak diizinkan masuk ke kota. Pelayan-pelayan yang menetap di rumah tepi kota adalah yang paling khawatir.
Saat mereka keluar, Candramaya masih berdiri di sana dengan wajah pucat yang kedinginan. Gerimis baru berhenti belasan menit yang lalu dan gemuruh badai telah terdengar dari belakang.
Sosoknya yang berdiri membelakangi kilatan petir dan tidak bergeming meski hujan mulai turun, membuat pelayan yang keluar terlebih dahulu merinding dan mundur kembali ke dalam rumah.
"Jangan dekati dia, Nyonya. Katanya penyihir bisa mengendalikan orang lain dengan mata," ujar salah satu pelayan yang menarik kursi roda.
Nyonya Amaranta dengan kacamatanya memperhatikan wajah Candramaya di bawah jubah dan langsung mengenali.
"Omong kosong apa yang kamu bicarakan? Dia adalah pelayanku sebelumnya." Melepas kacamatanya, Amaranta melanjutkan, "Masuk dan ganti pakaianmu sebelum yang lain membuat lebih banyak keributan."
Candramaya menurunkan tudung jubahnya, melewati tatapan iri para pelayan baru Ny. Amaranta yang enggan percaya bahwa gadis jelata dapat memiliki kecantikan seperti itu. Dia tidak terganggu oleh mereka atau memusingkan mengapa Ny. Amaranta membiarkan dia masuk begitu saja. Dalam pikirannya saat ini hanya terfokus pada kamar pelayan paling gelap di dalam rumah.
Setelah membuka pintu, Candramaya masuk dan menutup rapat agar pelayan yang hendak menguping, membatalkan niatnya.
Suara hujan tidak terdengar dari dalam kamar. Namun desir yang menyerupai angin perlahan memuat bayangan hitam, sesosok anak kecil muncul dengan wujud sempurna.
"Akhirnya kau kembali!" Ayna berlari dengan semangat untuk memeluk Candramaya.
Tetapi Candramaya mundur dengan waspada. Sejak penyihir gelap mengendalikan dia saat itu, dia tidak bisa melupakan aura raksasa yang telah melebihi kekuatan sihirnya. Baru sekarang, dia mengenali aura kegelapan di tubuh Ayna sama persis dengan aura raksasa yang dikeluarkan penyihir Lana. Meski tidak tahu bagaimana mereka dapat terhubung, Candramaya enggan meremehkan intuisinya untuk bertahan hidup.
"Kau ... kau menjauhiku karena," Ayna yang kecewa berhenti sesaat, "Lupakan saja. Kau tidak tahu apa yang kualami saat kau baru saja pergi. Seorang pria dan anak serigala datang ke sini membuat kekacauan."
"Apakah laki-laki itu seorang penyihir?" Candramaya berharap tebakannya salah.
Ayna setelah merenung sejenak, dia mengangguk.
"Ya, dia penyihir dan kekuatan sihirnya sangat tinggi. Aku bisa mengalahkan serigalanya, tapi tidak dengannya," keluh Ayna. Dia masih mengingat jelas kekuatan yang mengintimidasinya saat itu.
Candramaya menolak untuk percaya bahwa lelaki itu akan datang sendiri mencarinya, memburu dia bahkan di wilayah manusia.
"Apa yang dia inginkan?"
"Kamu akan tertawa mendengar apa yang akan kukatakan." Ayna tidak menyembunyikan ketakpercayaannya yang justru membuat Candramaya merasa jawaban itulah yang dia khawatirkan.
"Apakah ...."
"Dia mencari putri sihir."
Candramaya tercekat. Pria itu sudah menemukan jejaknya.
"Apakah dia masih di sini?" Candramaya menurunkan pandangannya dengan tangan gemetar, membayangkan jika dia sampai ditemukan menguasai sihir gelap, maka konsekuensinya tidak dapat dia bayangkan.
Ayna dengan enteng menjawab, "Seharusnya tidak akan pernah kembali lagi. Apa kau mendengar rumor yang dibicarakan pelayan di luar tadi? Tentang kusir kuda waktu itu. Aku mendengarnya dengan jelas." Dia mencoba mengingat suara gadis yang berteriak di tengah hutan. "Waktu mereka telah habis. Jadi mereka diusir."
Mempertimbangkan ucapan Ayna, Candramaya mungkin akan tenang untuk sementara. Tetapi dengan sifat ambisius Dares, dia yakin tidak ada kata selamanya. Cepat atau lambat, dia harus mendapatkan kembali kekuatan sihirnya dan menghilangkan jejak sihir gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...