Chapter 14 - 2

3 3 0
                                    

Di atas peraduan, Jingga sedang tidur ketika Candramaya menghampiri dia, mengembalikan batu hitam yang diberikan Aldo kepadanya.

"Bergegaslah," ucap Candramaya pelan, membangunkan Jingga yang terlelap dalam tidur.

Jingga menutupi mulutnya yang kecil ketika ia menguap dan melirik malas ke arah Candramaya. Api semangat yang senantiasa membara di pupil matanya tak lagi terlihat.

"Ada apa?" Jingga beranjak dan merapikan rambut, mengira-ngira dari cahaya mentari yang melintasi ventilasi bahwa hari masih cukup pagi.

Candramaya melepaskan tudung kain dan perhiasan yang melingkupi dirinya sembari berkata, "Bukit itu terlihat. Aku akan menggantikanmu dalam perangkap sihir." Bisikan Candramaya terhenti ketika dia harus memastikan tidak ada orang lain di kamar pengantin yang mengawasi mereka. "Pergi dan temukan jalan keluar. Hanya dengan begitu, ritual ini dapat digagalkan."

Jingga mengangguk, menyanggupi. Dia dengan cepat bertukar busana perantara jodoh. Ketika turun dari ranjang dan melangkahi lingkaran sihir, dia dapat melewatinya dengan mudah. Sementara Candramaya yang tanpa ekspresi bersembunyi di balik cadar calon pengantin, duduk bergeming memunggungi tirai ranjang.

Setiap langkah yang dipijak Jingga, diambilnya dengan kekhawatiran bahwa seseorang akan menemukan keanehan. Tetapi orang-orang desa yang berlalu-lalang sama sekali tidak memedulikan keberadaan Jingga yang menyamar sebagai perantara jodoh.

Setelah tiba di area perumahan, sebuah bukit hijau tampak dari kejauhan. Jingga menelusuri gang kecil yang dipagari papan kayu berbunga dan berhasil berjumpa dengan Rio yang sedang menjaga keamanan sekitar. Namun Rio mengira sosok di balik kain jingga adalah perantara jodoh yang sesungguhnya, sehingga lelaki itu mengabaikan dia begitu saja dan segera berlalu.

Jingga pun tak berniat menyapa. Dia menuju tempat yang sepi, jalan pintas untuk mempercepat perjalanannya menuju kaki bukit. Tanah desa yang kokoh berganti bebatuan perbukitan yang sulit dipijak. Dengan hati-hati, Jingga mendaki jalan bukit dan baru tiba di puncak yang rendah setelah tengah hari. Keringat menetes dari pelipis. Dia berusaha mengatur napas dan stamina untuk mendaki lebih tinggi ketika pemandangan yang terjal muncul di depan mata.

Jingga tidak tahu sihir apa yang telah dia lewati sehingga tiba-tiba saja dia sedang berdiri di puncak tertinggi. Kerikil kecil yang ditendangnya berguling jatuh ke bawah jurang di mana spesies pohon-pohon tinggi tumbuh.

Tudung kainnya dilepaskan agar dia dapat melihat lebih jelas. Sampai memutuskan untuk melepas perhiasan-perhiasan berat di tubuh dan meninggalkan mereka di atas bebatuan. Dengan keberanian serta keinginan kuat untuk hidup. Jingga meraih pijakan dan berhati-hati saat berjalan di batu yang menjulur keluar dari tebing.

Awalnya masih ada jarak rentangan tangan ketika dia turun pertama kali. Namun semakin dia melangkah, kian kecil ruang untuk berjalan yang sulit dilewati lebih dari satu orang. Jingga meraih ranting-ranting pohon yang tumbuh dari bukit dan berjalan sembari menempel pada dinding tebing.

Beberapa menit yang berlalu terasa seperti setengah hari telah dilalui. Jingga menengadah pada langit dengan awan-awan gelap yang menggumpal jadi satu di kejauhan sana dan pikirannya mengawang untuk sesaat.

Jingga mengalihkan pandangannya kembali pada tujuan dan sebuah pintu goa yang diyakini sebagai jalan keluar lantas terlihat. Untuk mencapai mulut goa, dia hanya perlu mengambil sedikit langkah lagi. Sedangkan batu untuknya berpijak telah mencapai batas yang aman bagi manusia. Dia menanggalkan sepatu dan mulai berjinjit, sedikit demi sedikit dengan pikiran untuk segera menggapai tujuan.

Seandainya batu hitam yang dikembalikan Candramaya tidak bersinar pada waktu yang tepat, Jingga tidak akan kehilangan fokus dan tergelincir di saat terakhir.

Tangan kirinya dengan cepat meraih ranting, diikuti tangan kanan yang menggenggam lebih tinggi. Kedua kakinya berusaha mencari pijakan yang stabil dengan sia-sia. Saat dia cemas, semua bebatuan itu seolah hilang. Kekhawatiran tentang keberuntungan tidak berhenti di sana ketika dia mendengar suata ranting yang patah, mata kecilnya terbelalak dengan takut apabila dia akhirnya akan mati dengan tubuh hancur dan mulai menyesali resiko yang diambilnya untuk memanjat di ketinggian.

Ketika rasa putus asa membayangi, sebuah tangan yang halus dan pucat seolah muncul tepat waktu. Berusaha menariknya ke atas bukit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Jingga menyambut tangan itu tanpa sempat melihat wajah lelaki yang terasa asing baginya. Saat dia hampir tiba di atas, tangan-tangan lain menggenggamnya dan menarik Jingga naik dibarengi teriakan histeris penuh kecemasan. Mereka adalah sahabat-sahabat Jingga yang batu tahu tentang rencananya untuk melarikan diri setelah diberitahu oleh Rio.

Rio juga berdiri di sana seperti biasanya dan hanya menunduk ketika Jingga menghampiri, berterima kasih kepada mereka karena telah menyelamatkannya tepat waktu. Namun sebelum senyuman itu bertahan cukup lama, Jingga melihat sosok ayah dan saudara-saudarinya bersama dengan penduduk desa yang menyatakan rencana untuk melarikan dirinya telah ketahuan.

Di antara orang-orang itu, hanya Rio yang tampak mencurigakan di mata Jingga.

"Kamu berkhianat!" tuding Jingga.

Tetapi Rio sama sekali tidak ingin menjawab seolah dia bukan dirinya sendiri saat ini. Mereka membawa Jingga yang kembali ke desa dengan putus asa.

Sebelum mereka menemukan Jingga, Candramaya yang menyamar di kamar calon pengantin masih mempertahankan penyamarannya ketika seseorang muncul di belakang tanpa dia ketahui.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang