Bunga yang mekar pada senja lembayung itu mengingatkannya pada siluet yang pergi sebelum bertemu.
*~'*' ~*
Bulan di pantulan sumber air berkilau saat ember jatuh dan menutupi cerminan rembulan. Cahaya pecah bersama riak yang menepi pada dinding batu sumur.
Kabut menebar dari kaki pohon yang terbenam dalam tanah, dedaunannya bergemerisik, reranting memukul batang pohon lain seolah menyampaikan pesan. Kulit pohon tua yang menggelupas, terbang bersama angin, jatuh di antara kabut-kabut padat yang memperlambat gravitasi.
Waktu seakan terhenti namun nyatanya tidak. Setelah cahaya sang dewi wulan pudar dalam kabut ini menghilang, waktu yang dinanti telah tiba.
Pagi tiba-tiba datang. Genderang di balai desa dibunyikan dalam ketukan musik yang riang, ditiup selembut sapuan kuas di atas kertas.
Candramaya terbangun dan mempersiapkan diri sebelum keluar dari rumah. Tetapi sebaik apa pun dia mencari dengan hati-hati, batu hitam ajaib yang selalu dibawanya telah hilang.
"Di mana batu itu?" Candramaya bergumam dengan cemas. Sebelum ia dapat menemukan batu miliknya, pintu rumah terbuka dan beberapa orang masuk.
"Perantara Jodoh. Alam memberikan izin untuk melangsungkan pernikahan. Kepala Desa menilai bahwa satu minggu lagi adalah hari yang baik. Perantara diminta pergi ke rumah Calon Pengantin untuk menerangkan aturan dan makna pernikahan," kata Pelayan yang pernah datang bersama Istri Kepala Desa.
Candramaya menyanggupi, membiarkan orang-orang yang datang mendandani dia. Hiasan rambut hari ini pun dikenakan lebih banyak. Setelah wajahnya ditutup, kain jingga diletakkan menutupi kepala. Dia tidak dapat dilihat melalui pernak-pernik pada kain yang sengaja menutupi pesona nan rupawan.
"Mari, Perantara."
Dengan berjalan kaki, rombongan itu mengantar Candramaya ke sebuah rumah yang berhias kain-kain merah. Diketahui sebagai rumah calon pengantin wanita. Namun suasana di rumah itu justru berbeda dari dugaan Candramaya. Dia pernah membaca tentang pernikahan manusia yang lebih mewah dibandingkan acara di Negeri Sihir. Keluarga dan orang-orang terdekat akan hadir dan meramaikan suasana sehingga kebahagiaan tersebar bahkan kepada orang asing yang lewat.
Di rumah itu, terasa berbeda. Meskipun dipenuhi hiasan yang megah untuk tingkat dusun kecil dan terpencil dari kota, kain dan kertas merah ada di mana-mana. Warna merah yang membawa kebahagiaan seolah dipaksakan di sana untuk mengintimidasi. Candramaya masuk ke rumah itu setelah mengetukkan kaki tiga kali ke lantai seperti yang telah diaturkan.
Seseorang membuka pintu dan mempersilahkan Candramaya masuk. Kedua orang tua calon pengantin berdiri diam di sudut. Tidak tampak ekspresi senang maupun haru di wajah mereka yang akan segera menikahkan putrinya dengan putra kepala desa yang terhormat. Lebih lagi saudara-saudaranya yang terus menunduk walau telah dipanggil. Mereka ketakutan dengan Candramaya yang melangkah masuk. Seolah perantara jodoh dalam busana jingga itu akan menjatuhkan hukuman mati kepada putrinya.
Pintu kamar dibuka, orang-orang menghindar sesuai aturan untuk tidak mendengar percakapan dalam ritual.
Di balik tirai yang terpasang hampir di seluruh bagian kamar, terutama membingkai ke empat sisi peraduan. Siluet dari Calon Pengantin hadir bersama pesona yang memperindah.
Candramaya masuk dan menyingkap perlahan kelambu yang digantung beberapa pernak-pernik.
Sang calon pengantin yang duduk di atas ranjang tampak memberi anggukan. Namun nada bicaranya terdengar janggal. Setelahnya calon pengantin itu menggeleng dengan cepat.
Candramaya mendekat dan memperoleh pemahaman. Di tepi ranjang yang tertutupi ujung tirai terdapat lingkaran sihir yang kegunaannya untuk mengendalikan gelombang suara agar tidak mengganggu keheningan di luar ruangan. Umumnya dipakai untuk mengendapkan raungan hewan buruan yang memberontak setiap waktu.
Tidak pernah terpikir oleh dirinya yang seorang putri sihir, akan menemukan alat sihir jenis ini di sebuah desa terpencil dalam wilayah manusia yang dengan jelas menentang keberadaan penyihir gelap.
Sembari menginjak lingkaran sihir, dia dapat mendengar apa yang calon pengantin coba ungkapkan.
"Siapa kamu!" Apa yang kamu lakukan di kamarku!" Calon Pengantin itu berteriak dengan kasar.
Candramaya mengambil tempat duduk di sampingnya dan berbisik dalam suara yang amat halus, kata demi kata diucapkan dengan penekanan nada yang jelas.
"Aku adalah Perantara Jodoh. Kehadiranku untuk memastikan bahwa kamu memahami makna dari pernikahan sebelum kamu memasuki tahap selanjutnya dari kisah cintamu."
"Keluar! Tidak perlu bersusah-payah mengucapkan satu kata pun! Aku tetap pada keputusanku untuk menolak perjodohan ini! Aku dan putra kepala desa bahkan tidak pernah saling mengenal satu sama lain! Apa yang ada di kepala kalian sampai harus memaksaku tunduk pada perjanjian nikah!" Calon Pengantin tampak seperti singa betina yang akan melahap siapa pun yang mendekat. Setelah meneriakkan amarahnya, dia tidak tampak kehabisan energi. Dengan napas menderu, dia melanjutkan. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku tak mau menikah meskipun kamu mengumbar seribu kata!"
Teriakan dari Calon Pengantin bagai lolongan serigala di tengah malam. Tidak mengherankan jika mereka akan menggunakan perangkat sihir untuk menjaga ketenangan dalam rumah.
Dengan keheningan dari orang-orang desa, suara Calon Pengantin dapat terdengar hingga ke depan gerbang utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...