Chapter 6 - 2

4 3 0
                                    

Saat hujan turun dengan deras, bukan aroma air membasuh tanah yang tercium, melainkan besi berkarat dan tulang kematian nan menyeruak.

Tempat itu tidak dapat menjadi perhentian sang Putri untuk berehat sejenak. Berhari-hari, ia memacu kuda melebihi kecepatan seekor heina yang mengejar mangsa, menerobos hutan selayaknya Raja yang terpaksa meninggalkan wilayah kekuasaan.

Hewan bersurai hitam mengikik keras. Candramaya tahu hanya sampai di situ kuda itu mengantarnya. Dia melompat turun dari kuda tanpa memberi aba-aba. Belum berbalik, kuda itu menghilang dalam lingkaran kegelapan. Itu bukan simbol sihir yang dapat dipahami sang Putri. Tidak ada waktu untuk memikirkan sihir lain, ia bahkan tak berani berhenti meski hampir keluar dari hutan. Tahu ke mana kakinya memijak dan seberapa banyak gundakan yang akan menjebak, hutan terlarang sudah seperti tempat bermain bagi dia.

Dalam benak Candramaya mengecam. Dia bukan lagi seorang penyihir. Secepat mungkin harus meninggalkan wilayah hutan, area terlarang kerajaan sihir, menuju tempat yang belum berani dia bayangkan keberadaannya.

Rinai pada pucuk daun, akar gantung dan bebatuan besar yang tersusun sejajar di garis batas, memberitahu bahwa tujuannya akan segera tergapai. Begitu antusias ia yang tak tahu adanya lumut di bawah kaki, Candramaya tergelincir dan berguling jatuh ke dalam rawa.

Siluet dari lentera muncul di sana dan mendekat, memperjelas kakak beradik yang sedang mencari buah-buahan, meletakkan keranjang bambu demi menarik Candramaya yang kotor dalam balutan tanah rawa.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya anak yang menyuguhkan botol minumnya.

Tetapi botol itu terhempas oleh Pemimpin Pasukan Anti Penyihir yang sedang berpatroli.

"Dua anak ini lagi!" kecam si Pemimpin. Dia menyapu pandang Candramaya dari ujung kepala hingga rambut yang meneteskan tanah rawa. "Harus berapa kali penduduk desa diberitahu agar tidak memasuki area perbatasan. Masih saja ada yang melanggar."

Kedua kakak-beradik itu bersembunyi di samping Candramaya. Pasukan yang menyebut diri mereka sebagai Anti Penyihir tampak tidak ramah. Cukup sesuai dengan apa yang didengarnya dari Penunggu Area Terlarang.

"Ketua, walaupun perempuan ini ditutupi lumpur. Tapi busananya tidak tampak seperti penduduk sekitar. Perlukah kita memanggil Nenek Peramal untuk melihat?" tanya salah satu penjaga yang berdiri di samping tombak, bendera Anti Penyihir terikat dengan kain hitam.

Pemimpin mereka melirik Candramaya dengan curiga. Dalam hati menaruh ketidak-senangan yang kadang kala dia rasakan ketika bertemu penyihir gelap. Namun ucapan Tetua dan batu sihir yang dibawanya tidak menunjukkan tanda sihir apa pun. Penyihir gelap yang memiliki ilmu sesat tidak mungkin akan diam saja jika jatuh ke dalam kubangan lumpur.

"Biarkan dia pergi. Tapi bawa kembali dua anak itu ke markas untuk diinterogasi!" perintah si Pemimpin.

Candramaya memandangi mereka dengan rumit. Dia yang tidak pernah bertemu dengan manusia biasa, merasa tidak ada bedanya saat bertemu para penyihir. Karena rasa ingin tahu, Candramaya mengikuti mereka dari jauh. Si Pemimpin menyadari keberadaannya dan tanpa menghentikan pasukan, ia meminta seorang di antaranya kembali untuk mengantar Candramaya ke kota terdekat.

"Jangan ikuti lagi," cegah Perempuan yang mengikat tanda Anti Penyihir di kepala.

"Apa yang akan mereka lakukan pada kedua anak itu?" Candramaya berhenti dan menoleh.

Perempuan itu terdiam, memikirkan jawaban yang dapat dia katakan agar terdengar wajar bagi orang biasa.

"Sesuatu yang tidak dapat kamu mengerti. Lebih baik jika tidak tahu," peringat Perempuan itu.

Terganggu dengan tanah rawa yang terus menetes dari pakaian Candramaya, perempuan itu membawanya ke tepi kota dan membiarkan dia membasuh diri di sumur.

Sebuah kota yang kecil, namun penduduk di sana tampak makmur dan tak kekurangan. Seperti sebuah tempat yang diberkati tanpa syarat.

Candramaya terus memandang takjub pada kendaraan yang lewat tanpa mengekspresikan kekagumannya.

"Aku sudah mengantarmu sampai ke kota. Lain kali jangan pergi ke hutan itu lagi. Apalagi kalau sampai ditemukan ketua kami," ancam Perempuan itu sembari menarik tangan di depan leher, mengisyaratkan pada hukuman mati.

Candramaya mengangguk paham dan segera membasuh wajahnya yang mengejutkan perempuan di samping.

Kecantikan yang dimiliki Candramaya sangat menawan. Terlihat jelas bahwa dia tidak memiliki sedikitpun ciri khas orang sekitar. Bahkan cenderung terpikir olehnya bila Candramaya adalah penyihir yang sedang menyamar.

Sebelum perempuan itu sempat bertanya, seorang wanita datang dan menepuk bahu Candramaya, mengajaknya berbicara seakan saling mengenal.

"Kamu anak Pak Heru yang tinggal di desa sebelah kan?" tanya Wanita itu sumringah, merasa berhasil menemukan orang yang hendak ditemuinya.

Candramaya mengangguk agar perempuan yang mencurigainya itu segera pergi. Dia hanya kehilangan sihir. Bukan kemampuan mengenali aura membunuh dari perempuan yang menaruh curiga. Jika identitasnya sebagai penyihir diketahui, manusia-manusia tidak akan melepaskan dia dengan mudah.

"Kebetulan sekali. Tante baru saja mau pergi jemput kamu. Takut kamu hilang arah dalam hutan," ujar Wanita itu seraya menggandeng Candramaya.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang