Chapter 1 - 2

16 6 4
                                    

Terang dan gelap berganti menjadi kenangannya belasan tahun lalu ketika perasaan hangat tumbuh sebelum pemahaman akan cinta menghampiri.

Angin musim semi kala itu berusaha menjatuhkan kuntum bunga merah muda yang bersandar pada reranting. Setelah bertiup beberapa kali, kelopak pun jatuh di atas kening seorang asing.

Candramaya sedang mengendalikan sihir yang sempat melonjak keluar karena duka perpisahan, bertemu pandang dengan anak lelaki yang juga menoleh. Pesona misterius terpancar dari paras anak lelaki yang meraih kuntum bunga di kening, membuyarkan kesedihan. Sang Putri yang bersedih dibuat takjub.

Beberapa bunga yang jatuh setelahnya tak dapat mengusir rasa ingin tahu anak lelaki itu untuk mendekati Candramaya, memperhatikan gaun tidur yang kemewahannya hilang oleh percikan debu tanah.

"Apakah kamu Tuan Putri?" tanya Anak itu ragu-ragu.

Candramaya saat itu tidak mengenal orang-orang di luar istana. Hanya tahu bila anak lelaki di hadapannya cukup memesona untuk membuatnya mengangguk dan memperkenalkan diri.

"Ya, aku Putri Tiertta!" Candramaya meninggikan suaranya dan menggapai anak lelaki di depan. "Kamu siapa?"

Anak lelaki itu tersenyum hangat saat menyebutkan namanya perlahan, seolah ingin Candramaya mengingat nama itu tanpa kesalahan pada kesempatan berikutnya.

Setelah pertemuan tak terduga, Candramaya selalu menyempatkan diri untuk menunggu di taman istana. Berharap dapat melihat anak lelaki yang berjanji akan datang dan berjanji lagi untuk bertemu keesokan harinya.

Bersuka-ria di bawah lindung pohon, mengisahkan tentang kerajaan yang makmur, parade dan syukuran rakyat atas keajaiban Negeri Sihir dan kekuatan mantra yang melimpah.

Dares akan menampilkan sihir yang baru saja dia pelajari dari pengunjung di ibu kota dan Candramaya akan duduk manis di akar pohon, memperhatikan dengan antusias. Walaupun masih tidak dapat mengendalikan sihirnya yang langka, ia memuji dengan tulus dan berbagi kebahagiaan yang sama tanpa iri hati.

Ada kalanya, Dares akan menanyakan kekuatan sihir apa yang dimiliki Candramaya. Namun seringkali ditutupi olehnya, seperti harta berharga yang tak elok diperlihatkan pada sembarang orang.

"Belum waktunya."

Candramaya akan menjawab sesingkat itu. Sama seperti kalimat yang diucapkan mendiang ibunya. Dia tersenyum, membayangkan dalam hati. Apabila saat itu tiba, semua orang diyakini akan menaruh kagum pada kekuatannya.

Setelah itu, Dares akan mengalihkan pembicaraan dan menceritakan tentang dirinya yang bergabung dengan prajurit kerajaan. Sukacita lantas beterbangan di antara keduanya ketika masing-masing mengira takdir sedang berjalan mengikuti keinginan mereka.

Pandangan mata Dares yang bahagia dan penuh binar sulit untuk dilupakan. Waktu bersama menjadi sesuatu yang tak ternilai, tetapi dapat diukur oleh perasaan. Lambat laun, Candramaya paham dengan satu kata cinta, kemudian rindu untuk menemui pemuda yang semakin sedikit kesempatan mereka bertemu.

Kemah prajurit memiliki aturan yang keras untuk menolak pengunjung. Tak terkecuali para penanggung jawab di bawah raja. Terlebih hanya kepada anak perempuan yang tak mengungkapkan identitasnya sebagai putri kepada orang lain.

Demi menghindari kerisauan yang tak kunjung reda, Candramaya berfokus pada mantra-mantra sihir, berlatih untuk mengendalikan diri dan membaca buku-buku dengan pengetahuan manusia yang unik. Sengaja mengurung diri dalam menara pustaka.

Meski menjalani kehidupan sebagai putri yang dihormati, terkadang masih merasakan tatapan remeh dari mereka yang mengetahui bahwa ia tidak dapat menggunakan mantra sihir. Keputusan untuk tidak menunjukkan kekuatan apa pun juga membuatnya terlihat seperti manusia biasa, memberi dia jarak dari penyihir-penyihir yang hanya memandang kekuatan sebagai kebijaksanaan.

Menara dan dia tetap di sana, matahari dan bulan yang silih berganti tidak pernah sama. Candramaya bukan lagi gadis kecil saat pelatihan prajurit selesai.

"Dares!"

Candramaya menyerukan nama pemuda yang berdiri di antara para prajurit baru. Ia telah menunggu lama di depan gerbang demi melihat pemuda yang dikaguminya dari jarak jauh. Sebagai putri, ia tidak dapat bergabung dengan rombongan gadis yang meneriakkan nama pujaan hati mereka. Dia tidak ingin Dares merasa bahwa tak ada seorang pun yang memberikan dukungan. Namun dia juga tak berdaya ketika barisan itu dikirim pergi untuk menjaga perbatasan dari invasi raksasa.

Malam sebelum keberangkatan, Candramaya menyelinap keluar dari istana. Selain cahaya purnama yang meredup sampai kegelapan datang. Tidak ada siapa pun yang berhasil dia temui. Raja menemukannya menangis di bawah pohon, membawanya kembali ke istana dalam hening.

Setelah kabar baik dikirimkan dari perbatasan, Candramaya masih mengingat cintanya dan berlari melewati taman istana untuk menemui Dares. Orang yang telah merebut hatinya.

Sesal menghampiri, sekali lagi takdir bermain curang. Dia menunggu di atas tembok istana hingga lewat waktu. Seorang pemuda yang asing, menghampirinya dan menanyakan siapa yang sedang ia tunggu. Candramaya tidak berkata apa pun dan hanya beranjak dengan sapu tangan yang jatuh.

Pemandangan itu terus berputar di benak Candramaya hingga kegelapan membayangi segalanya, mengantar rasa cemas saat ia tidak dapat menebak apa yang sedang terjadi di sekitar.

Cahaya terang berkedip di ujung. Bukan cahaya lembut rembulan atau sihir hijau yang cerah, melainkan kobaran api yang melahap bangunan-bangunan megah tanpa ampun. Pepohonan tak luput dari kemurkaan sang merah bara. Dia termangu untuk beberapa saat sebelum berlari menuju istana yang tampak suram di tengah kobaran api. Ketika gerbang besar dibuka, Candramaya menemukan kejutan yang lebih besar.

Mayat pelayan dan penjaga berserakan di mana-mana. Bahkan ada di antaranya yang kehilangan anggota badan. Usai memberanikan diri, Candramaya melewati genangan darah yang membasahi karpet putih gading dan memasuki ruangan di mana ayahandanya mengistirahatkan diri, berharap dapat menemukan sang raja dalam keadaan baik-baik saja.

Dengan tangan gemetar, dia mendorong pintu. Belum terlihat jelas siapa yang berdiri di balik pintu, sebuah pedang panjang telah menembus jantungnya. Candramaya berbalik untuk melihat orang yang telah menikam dari belakang. Siluet wajah yang familiar. Tatapan dinginnya mencekam seiring pedang itu mengoyak perlahan, memberi sisa-sisa kesadarannya ekspresi kaku dan senyum yang ambigu. Pria itu adalah persis seperti Dares yang ia bayangkan atau bisa juga orang lain yang berwajah serupa.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang