"Kak! Lihat ini Kak!" Sorakan Owen mengubah fokus mereka.
Owen melompat ke belakang Candramaya, memetik sekuntum bunga kelopak putih yang tumbuh di rerumputan. Lalu menunjukkan bunga itu di hadapan Orlen yang tersenyum tipis.
Saat Orlen menoleh ke belakang, ranting pepohonan menjuntai dan bunga-bunga putih tumbuh secara ajaib. Tatapan mata keduanya membulat takjub. Orlen menemani adiknya meraih sulur tanaman dan bermain untaian bunga-bunga putih yang mengirim sebersit kecurigaan pada Candramaya.
Hingga beberapa jam berlalu, Candramaya menemukan kuntum bunga yang layu. Sinar matahari yang sebelumnya cerah, kian terhalang dan mendatangkan bayangan. Orlen dan Owen yang sedang menghanyutkan bunga di danau, menyadari malam tiba lebih awal, segera beranjak.
"Ayo pergi," ajak Orlen, menggandeng tangan Owen.
"Oke." Owen berbalik menatap Candramaya, menawarkan, "Apa kamu mau ikut dengan kami?"
Candramaya memperhatikan anak itu dengan bingung. Namun tetap bangun dan mengikuti di belakang mereka.
Di tengah jalan, Orlen menarik adiknya dan bertanya dengan suara pelan, "Kenapa harus ajak dia?" Matanya melirik ke belakang dan kembali berbisik, "Kita tidak tahu siapa dia. Bagaimana kalau dia berniat jahat?"
"Aku," Owen memberi isyarat agar saudaranya menunduk. Kemudian menutup mulut dari samping seperti sedang berbisik. "Aku rasa dia tidak jahat."
Orlen menarik diri dengan canggung. Suara Owen yang keras membuat dia melirik sekali lagi ke belakang. Candramaya masih mengikuti seolah tidak mendengar apa pun.
Setelah melewati tepi danau yang sejuk, mereka menginjak rerumputan di hutan lapang yang tak terjamah kegelapan. Terus melangkah di bawah cahaya matahari yang semakin menyilaukan.
Candramaya tidak tahu sejauh mana tujuan kedua anak itu. Sedangkan matahari yang terik memberitahunya bahwa setengah hari telah terlewati. Panas sang surya menyisir helaian rambut Candramaya tanpa semilir angin. Tanda penyihir hitam kian memudar seiring tenangnya gejolak sihir di inti jiwanya.
Perlahan menjaga jarak di antara mereka, Candramaya membacakan mantra pengendali kekuatan sihir. Tetapi Owen menghentikan langkah kakinya dan Orlen tiba-tiba berbalik.
Dia menunjuk Candramaya dan berteriak dengan nada tinggi, "Apa katamu barusan?"
Keduanya menunggu jawaban dari gadis pucat di depan mereka secara intens. Terutama Orlen yang yakin bahwa dia pernah mendengar kalimat itu di suatu tempat.
Candramaya menutupi lambang sihir di tengkuknya dan menjawab, "Ke-ke mana kita pergi?"
Meski terdengar parau, Orlen yang berdiri sejauh tiga meter darinya dapat mendengar dengan jelas.
"Kau bisa berbicara? Kenapa tidak bicara dari tadi!" tuduh Orlen yang kecurigaannya meningkat.
Sejak tadi diam dan hanya memperhatikan keresahan Orlen, Owen meraih jemari kakaknya. Lalu berjinjit untuk menyamai tinggi mereka.
"Kak," Owen memanggil, membisikkan sepatah kata yang anehnya tidak terdengar oleh Candramaya. "Begitu saja, Kak."
Senyum kecil terlukis di wajah Owen sehabis Orlen mengangguk paham.
"Terserah kamu mau ikut atau tidak. Kami tidak akan beritahu," tegas Orlen dengan nada kekanakan.
"Iya. Kami tidak akan beritahu rumah kami," celetuk Owen yang memberi tanda jempol dengan cengiran, menunggu pujian dari saudaranya.
Kepolosan Owen membuat Orlen mempertahankan senyum, tidak jadi mengeluh dan membalas juga dengan tanda yang sama. Apa yang mereka sepakati tadi berakhir sia-sia dengan kejujuran adik bungsunya.
Mereka melanjutkan perjalanan ke arah lain hingga area hutan terasa lebih sejuk. Pepohonan tertanam sejajar pada sebuah jalan yang dibuat dari bebatuan serta ditumbuhi ilalang.
Orlen menggandeng adiknya dan Owen menarik tangan Candramaya agar tetap bersama mereka dengan wajah yang menyengir.
Di ujung jalan berbatu, sebuah rumah kayu berdiri dengan sederhana di antara dua pohon yang berusaha menutupi atap. Tumbuhan jenis merambat tumbuh mengelilingi dari kaki pagar. Belasan potong kayu yang separuhnya telah dicat putih, disandarkan ke dinding samping rumah.
Owen menaiki anak tangga pertama dan melompat dengan gesit. Papan kayu di teras rumah berderit, diikuti sorak cemas Orlen yang bergegas mengejar adiknya. Tetapi Owen telah membuka pintu dan kabur lebih cepat.
Orlen masuk dan membanting pintu, meninggalkan Candramaya yang termenung di luar.
Selama Candramaya sendirian, dia memperhatikan rumah kedua anak itu dengan saksama.
Warna putih pada rumah itu tidak pudar meski tanaman merambat terjuntai serta dedaunan gugur berjatuhan di teras setiap kali angin bertiup. Tempat itu tetap tampak bersih seakan ada orang yang membersihkannya setiap hari.
Perhatian Candramaya kembali teralih oleh derit pintu yang dibuka pelan. Di mana Orlen berjinjit keluar dan menutupnya. Setelah menemukan Candramaya, anak laki-laki itu baru menghela napas dan mengunjungi Candramaya di bawah pohon.
"Jangan berisik. Yowen sedang tidur. Aku akan mengusirmu kalau kamu mengganggu adikku," gertak Orlen dengan sorot mata yang tidak menunjukkan usianya sama sekali.
Sesaat membuat Candramaya teringat tujuannya mengikuti mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...