Chapter 9 - 1

3 3 0
                                    


Redup alang-alang
Menyapa siang
Menghalau terang
Membelenggu kilau lembayung yang mengambang
Menunggu rumput baru berganti ilalang

~÷*-*÷~

Bebatuan bergulir, bulan bersenandung. Bukan waktu yang tepat bagi sang Panglima untuk ragu.

Setelah melewati gerbang dengan penjaga berkepala pucat, Dares tahu bahwa keputusan yang dia ambil akan membawa masa depannya pada pengorbanan dan darah. Walau sesuatu dalam dirinya mencoba menghentikan, dia yang hidup dalam ketidakadilan selama ini, tak mengerti tutur bahasa nurani. Tujuannya hanya satu. Keadilan di Negeri Sihir agar tak ada lagi bangsawan yang merendahkan penyihir tanpa latar belakang.

Makhluk kegelapan di singgasana tahu bila Dares dapat melakukan apa pun untuk meraih tujuan dan ia tanpa beban mengulurkan pilihan yang layak dibanggakan.

Makhluk itu menyeringai untuk kesepakatan yang telah terjadi. Dia berujar dengan suaranya yang menggema di setiap sudut, dingin dan halus menyerupai serpihan salju.

"Lakukan semampumu. Langkah selanjutnya tinggalkan untukku."

Dares tercengang ketika makhluk kegelapan itu menghilang tanpa jejak. Untuk mendapatkan kekuasaan, ia harus menemukan Putri Sihir dan menduduki takhta. Barulah ia memiliki kekuasaan untuk menyelamatkan kaumnya dari jeratan alam bawah.

Seekor rubah bermata abu menghampirinya ketika ia keluar. Rubah itu sebesar rubah dewasa meski usianya baru beberapa minggu.

"Tuanku, apakah Tuan akan membawa seluruh pasukan untuk mencari Putri Sihir?"

Pertanyaan siluman rubah itu membuat Dares berpikir lama sebelum ia menjawab, "Tidak." Dia telah memutuskan untuk melakukan hal buruk. Takkan mudah membawa banyak prajurit yang bukan setia kepadanya. "Hanya kita berdua." Dares menegaskan.

Rubah mata abu itu setuju dengan cepat. Berlari tanpa menunggu Panglima, mengikuti kawanan awan-awan hitam yang serupa kelompok gagak pengincar bangkai.

Dares memandang ke arah rubah itu pergi dan sebuah pertanyaan muncul di pikirannya. Mengapa rubah itu berlari ke arah Tenggara saat dia sendiri belum tahu ke mana dia akan menjelajah.

Awan berpindah, langit mendukung. Gemuruh hujan di seberang tempat berbeda dari yang dipijak oleh sang Putri dalam pelarian, mencari jejak dari misteri yang mengantarkan dia pada kekuatan gelap di tanah manusia.

Bangunan megah di tengah hutan. Halaman luas dengan pohon-pohon tinggi menyelimuti. Rumah itu masih dalam suasana damai.

Candramaya sedang mengelap meja makan dengan hati riang ketika Prasetyo masuk tanpa mengetuk pintu, dua pelayan yang berbeda mengikutinya.

Prasetyo memerintahkan agar kedua pelayan itu masuk dan bekerja di rumah Ny. Amaranta. Pelayan yang lebih tinggi dan berparas kaku menerimanya dengan santai. Sedangkan pelayan yang tampak lebih muda justru merinding ketakutan. Perasaannya sudah tak karuan sejak pertama kali menginjakkan kaki ke ruangan itu.

Dari arah dalam, Ny. Amaranta memanggil Candramaya yang masih terbengong dengan perbuatan Prasetyo yang bergegas masuk dan mendorongnya keluar. Begitu melihat Ny. Amaranta, Prasetyo mendekat dan menghaturkan salam ala bangsawan yang membuat Candramaya segera menjauh.

"Kedua pelayan ini, semoga Nyonya dapat menerimanya," ungkap Prasetyo sopan.

Sikap lelaki itu membuat Candramaya tertegun, mengingatkan dia akan abdi di Kerajaan Sihir yang setia hingga akhir hayat dalam mimpinya. Beberapa kenangan buruk yang melintas telah membuat ia lupa menjaga ekspresi.

Hal itu ditanggapi Prasetyo sebagai keengganan tidak langsung Candramaya terhadap kedatangannya. Begitu Ny. Amaranta tampak akan menolak, ia terlebih dahulu berbicara.

"Angin malam di musim gugur tidak baik untuk kesehatan Nyonya. Sebaiknya memiliki lebih banyak pelayan yang menjaga dan memperhatikan."

Saat mengatakan kalimat itu, Prasetyo memberi isyarat ke seorang pelayan agar segera mendekat. Pelayan bernama Nindi itu hampir setinggi pundak Prasetyo. Dia tampak ketus saat memberikan salam dan dengan berani menatap langsung ke mata Ny. Amaranta.

Sedangkan pelayan yang lebih muda tampak lebih pemalu dan berhati-hati. Lila memberikan salam dengan kaku sembari menyembunyikan tangan yang gemetar karena takut melihat sosok Ny. Amaranta yang duduk di kursi roda dengan tubuh renta dan lemah. Ditambah penerangan di sana lebih didominasi oleh bayangan daripada cahaya.

"Kamu atur saja mereka." Nyonya Amaranta berbalik dan berkata ke Candramaya. "Biarkan pelayan baru yang menyiapkan makan malam. Kamu beristirahatlah setelah ini."

Candramaya mengangguk paham. Namun belum sempat ia beranjak, Prasetyo merentangkan tangan untuk menghadang. Candramaya menyunggingkan senyum kecil di ujung bibir dengan mata yang terus menatap lurus pada Prasetyo, memperingatkan bahwa ia tidak selalu bersedia ditindas.

"Tunggu sebentar. Nyonya tidak bisa tidur di cuaca dingin. Kamu pergi ke hutan dan bawa kayu bakar sebanyak mungkin. Jangan kembali sebelum malam," ujar Prasetyo angkuh, memberikan tugas.

Tidak menjawab. Candramaya hanya mengangguk dan pergi keluar, mengabaikan dua pelayan yang menatapnya dengan pemikiran masing-masing.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang