Chapter 12 - 3

4 3 0
                                    

Seorang pria dengan rambut panjangnya yang hitam menutupi sebagian wajah, memberi senyuman sinis ke arah Candramaya. Muncul tiba-tiba dan menghilang dalam sekejap.

"Sesiapa yang lari dari kenyataan, akan menghadapi kebenaran. Sesiapa yang memberontak pada takdir, akan terikat oleh segala aturan. Serta siapa pun yang menentang cinta, akan menderita oleh terkasih."

Peringatan itu mencengkeram segala kemungkinan dari rencana dalam benak Candramaya yang tak menduga adanya sosok kuat di balik pengaturan perjodohan. Dia menebak sosok itu muncul karena penundaan ritual pernikahan antara Jingga dan putra kepala desa.

Waktu dan ruang seolah memiliki pemikiran sendiri untuk melawannya. Cahaya jingga lembayung di kala senja yang semestinya membawa berkah bak indah permai bagi hutan serta burung-burung bersarang, mendadak jatuh dalam kegelapan yang merenggut inti kehidupan. Bunga-bunga yang tak hanya mekar di reranting, berturut pula yang menjuntai pada akar-akar ringan dalam tiupan angin sayu. Layu serta mengering.

Pemandangan tandus itu menarik rasa takut dari Candramaya yang tahu bahwa kekuatan kematian tidak hanya sebatas Ilusi ataupun isu belaka. Sosok pria yang dia lihat. Kekuatan yang dapat bersaing dengan Raja Sihir membawakan teror yang mengancam. Tidak salah lagi, perasaan yang dia rasakan dalam mimpi masa depan sama persis dengan degup jantungnya ketika bertemu makhluk kegelapan yang dapat menghancurkan Negeri Sihir.

Sebelum makhluk kegelapan itu menunjukkan wujudnya, Candramaya meraih batu hitam yang diberikan Jingga. Batu hitam yang tidak lain adalah tanda cinta pemberian Aldo, putra kepala desa kepada teman masa kecilnya Jingga ketika terakhir kali mereka bertemu.

Pria itu kembali muncul dengan sorot tajam tertuju pada genggaman tangan gadis di depannya.

Candramaya bersiap untuk melawan dengan kekuatan sihir yang tersimpan dalam batu hitam. Tetapi ia sendiri tidak yakin apakah kekuatan sihir itu cukup untuk melindunginya dari makhluk kegelapan.

"Serahkan. Batu itu bukan hakmu."

Awan gelap muncul di belakang pria itu ketika dia melangkah menuju Candramaya yang melirik dengan waspada. Untuk menemukan celah agar dia dapat menyerang, Candramaya membacakan mantra sihir yang cukup rumit dengan suara kecil. Tetapi batu itu tidak menunjukkan tanggapan akan membantu.

"Ini juga bukan milikmu!" balas Candramaya.

Begitu merasakan sengatan sihir yang mengalir keluar dari batu, Candramaya segera menyebat lawan. Petir bergemuruh di atas awan-awan hitam.

Pria itu sama sekali tidak menghindar dan terkecoh oleh petir dari langit yang tiba-tiba mencambuk. Barisan petir seolah berkumpul untuk menghancurkannya ketika dia menyadari asal dari kekuatan yang telah memanggil hukuman langit.

Awalnya dia hanya tidak senang melihat adanya batu hitam lain dalam genggaman sang Putri Sihir. Tidak menduga kekuatan yang dialirkan justru dapat memanggil petir hukuman. Dia tidak bisa membiarkan batu itu terus menerima kekuatan mantra sihir dari Candramaya.

"Serahkan padaku!" Pria itu terbang melesat ke arah Candramaya yang terlalu kaget untuk menghindar.

Candramaya gagal mengelak ketika tangan panjang yang dia pikir berada di depan mata akan membunuhnya justru meleset.

Sedangkan pria yang kini berdiri di belakang Candramaya dengan tangan kosong, melongo ketika tubuhnya melewati Candramaya. Pikiran tentang mereka telah berada di area yang berbeda namun dapat melihat dan berkomunikasi satu sama lain menerangkan adanya rahasia yang belum terungkap.

Petir menyambar sekali lagi dan Candramaya terkejut karena suara yang menggelegar tidak menunjukkan kilatan petir di manapun. Sosok pria barusan tak lagi terlihat.

Ketika amarah petir memudar, awan hitam tersebar ke tujuannya masing-masing. Sekuntum bunga mekar di bawah cahaya senja, pada tempat terakhir lelaki itu berpijak.

Candramaya tidak dapat menemukan pria itu di manapun. Meskipun intuisinya berkata bahwa pria itu tidak lagi berada di sana, dia tetap cemas.

Batu hitam tidak lagi mengalirkan kekuatan sihir, tetapi ia berpijar seolah mengajak Candramaya untuk menelusuri.

"Bawa aku bertemu calon mempelai pria," kata Candramaya pada batu hitam yang langsung merespon.

Cahaya putih melintas dan membelah sinar senja. Candramaya mengikuti ke mana arah itu membawanya. Melewati desa sepi yang tanpa seorang pun berjaga di sekitar. Tiba di sebuah rumah kayu yang lebih besar dari rumah lainnya, cahaya itu menghilang.

Candramaya melanjutkan langkah kaki tanpa ragu. Angin dingin menerpa wajahnya ketika dia sampai di depan anak tangga yang tampak lusuh. Gelang kakinya berdenting setelah ia menginjak lantai teras yang berderit. Aura kegelapan menguar dari bawah rumah dan berusaha menjerat kaki Candramaya.

Tanpa menunggu, Candramaya menendang jatuh tangan-tangan hitam yang mencoba meraihnya. Sebuah lubang hitam muncul dari barisan kayu di depan dan mulai mengambil bentuk manusia. Sesaat sebelum wujud itu terlihat, seseorang berlari menuju Candramaya dan menariknya keluar dari rumah kepala desa.

"Berhenti! Apa yang dilakukan Perantara Jodoh di sini?"

Lelaki paruh baya yang menarik dia rupanya si kepala desa. Matanya yang memicing dengan keriput di ujung tampak lega setelah Candramaya menjauh dari depan rumah.

"Dimana calon mempelai pria?" tanya Candramaya tanpa ragu.

Kepala Desa tertegun untuk waktu lama sebelum dia menjawab, "Apa yang kamu katakan? Apakah istriku tidak memberitahumu jikalau perantara jodoh jangan bertemu calon mempelai pria sebelum pengantin wanita menikah?"

Candramaya mengangguk setelah ucapan kepala desa menyadarkannya. Dia menurunkan pandangan pada batu hitam yang tidak lagi bercahaya.

Beberapa saat yang lalu, dia dengan ceroboh membiarkan batu itu mengendalikan niatnya untuk segera bertemu dengan calon mempelai pria.

Sebuah pertanyaan muncul tepat waktu. Jika batu ini mampu mengendalikan untuk bertemu mempelai pria. Mengapa di tangan calon pengantin, justru berusaha lari dari pernikahan?

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang