Sebelum malam tiba, sang Panglima Perang yang menunggu di balik tembok tinggi melangkah keluar begitu menerima isyarat.
Peramal Istana berjalan mengikuti arah bayangan tembok, menyerahkan sebuah kotak yang terbungkus kain.
Dares menerima barang itu dan berjalan pergi dengan punggung tebak yang tidak ada sedikit pun niat untuk menoleh.
Sambil mengelus jenggot putihnya, Peramal Istana memandang titik di mana bayangan Dares menghilang. Seiring tertawa, dia menyombongkan diri.
"Anak muda sekarang begitu terburu-buru. Tanpa orang tua ini, dia hampir tidak mendapatkan keadilan apa pun. Terlebih izin resmi dari Raja."
Peramal Istana berbalik, melangkah lambat ke arah dia datang. Percikan debu cahaya tertangkap pandangannya. Dia menengadah dan menyaksikan cahaya bulan yang lembut sekana memberinya sapaan.
"Hah ... di mana lagi harus kutemukan penerus posisiku."
Mata Peramal Istana terbelalak, berusaha berbalik dan melirik wajah Dares yang menempatkan sebuah lingkaran sihir di keningnya. Lantas kejadian di pikirannya memudar.
Saat terbangun, dia menemukan dirinya di atas perbaringan. Sedang menunggu prajurit untuk mengantarnya kembali ke istana. Derap langkahnya ringan seolah tidak mengingat hal buruk apa pun.
Dares baru menunjukkan diri dari balik tembok setelah Peramal Istana berlalu. Dia bergegas kembali ke persinggahan di hutan Utara yang tersembunyi.
Seekor rubah besar meringkuk di bawah cahaya bulan, menunggu mega menghalaunya untuk berubah wujud seorang penyihir. Aura sihir keperakan meningkat hingga tingkat ketiga.
Arifin yang belum tahu kalau Dares telah kembali, berlari masuk ke dalam bangunan. Dia memperlihatkan kekuatan penyembuhannya yang meningkat pada Alego.
"Kamu memiliki bakat yang langka." Alego bungkam tentang perubahan Arifin yang dilihatnya dari celah jendela. "Saat Panglima Perang kembali, dia pasti akan memberimu pujian!" salut Alego, menunjukan kekaguman di wajahnya yang masih menyisakan sedikit bekas luka.
Setelah berjam-jam Arifin mengobatinya. Alego baru menyadari bahwa penjaga yang hampir merenggut nyawanya itu bukan penjaga ataupun prajurit biasa.
Di tengah kebimbangan mereka, Dares masuk dari pintu yang terbuka perlahan.
Alego yang menangkap sebersit bayangan itu segera beranjak, memberi salam dengan menunduk, "Tuan Panglima."
Matanya menatap lekat, memastikan penyihir yang berdiri di hadapannya sekarang adalah sungguhan.
"Menurut laporan mata-mata, Raja mencurigai Tuan dan mengambil langkah tegas untuk hal ini," ungkap Alego, ragu-ragu melirik ke arah Arifin.
Arifin membalas pandangannya dengan raut bingung. Dia tidak tahu mengapa pandangan Dares pun turut dialihkan padanya.
"Rencana Tuan untuk pergi ke wilayah manusia tampaknya harus ditunda."
Dares paham situasinya. Dia membalas ucapan Alego dengan anggukan seakan setuju. Faktanya dia memang tidak dapat mengelak dari Raja yang mewaspadai pengkhianatannya sejak awal.
Bahkan bila dia tidak bertindak, takdir terus menyeretnya untuk mengambil langkah atau tertindas dan mati tanpa nama.
"Raja berjanji untuk menganugerahkan gelar pangeran setelah aku menikahi Putri Mahkota." Dares mengambil tempat duduk dan mengeluarkan surat izin resmi pencarian putri di wilayah manusia.
"Tapi para bangsawan tidak mungkin membiarkannya begitu saja." Alego mendekat dan menyadari tanda itu dengan segera.
"Kau benar." Dares mengangkat tanda izin resmi seperti permata yang berharga, tapi juga sesuatu yang paling tidak berguna untuk keadaannya sekarang. "Untuk sementara, kita harus mengawasi pergerakan para bangsawan dan bertindak hati-hati."
Alego hanya bisa mengiyakan. Kematian baru saja menjenguknya sebentar dan mereka harus kembali menghadapi situasi berbahaya. Meski hanya sesaat, dia tidak akan pernah melupakan aroma tanah kematian yang menusuk serta merantai jiwanya.
"Aku mendengar beberapa berita saat kembali ke Ibukota. Dua penjaga di gerbang utama meninggal karena kutukan yang mengerikan. Namun tidak ada yang menyampaikan tentang kematianmu," ucap Dares berhenti sebentar, mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Itu berarti kamu dapat kembali ke Ibukota dan pulang menemui keluargamu. Sampai saatnya tiba nanti, aku akan mengirimkan perintah."
Sembari menyimpan tanda izin, Dares menunggu tanggapan. Arifin yang berdiri di dekatnya hanya tersenyum diam. Sementara Alego tidak menutupi kebahagiaannya.
"Terima kasih, Tuan." Alego memberi hormat, lalu membacakan mantra perpindahan.
Sampai debu cahaya menghilang, Dares yang tidak mengatakan apa pun, terus melirik tajam ke Arifin.
"Tuan, apakah saya melakukan kesalahan?"
Dares berniat mendiamkan anak itu. Tetapi dia pikir lebih baik untuk memperingatinya sebelum mengirim dia ke sarang harimau.
"Setelah hari ini, akan ada yang membawamu masuk ke istana sebagai tabib." Dares mengabaikan raut tertegun Arifin dan membaca mantra. Sihir biru yang bergelimang segera melingkupi Arifin dan mengitarinya. "Aku telah menyegel kekuatan raksasa dalam dirimu. Tapi bukan berarti identitasmu tidak dapat diketahui."
Arifin mengangguk patuh. Secara pasti, warna perak di helaian rambutnya berubah cokelat. Jarak pandang serta penciumannya yang tajam mulai berkurang.
Ketika Dares berbalik dan keluar dari ruangan, Arifin menyadari bahwa pergerakannya melambat.
Kemampuan raksasa rubah terkuras hanya dengan sebuah mantera dari tuannya.
"Tuan, apa yang harus saya lakukan di dalam istana?"
Dares berhenti, kemudian menatap Arifin dengan serius.
"Masuk dan berbaur dengan tabib-tabib istana. Apa pun yang terjadi, jangan bertindak di luar tugas. Kamu harus mendapatkan kepercayaan mereka dan meningkat kemampuan penyembuhan sebelum kita pergi ke wilayah manusia."
"Apakah Putri Sihir memang harus dilibatkan dalam rencana Tuan?"
Setitik kekhawatiran yang tampak di mata Arifin terabaikan. Demi tujuan dan takdir yang membelenggunya hingga ke titik ini, Dares tidak mampu mengelak lagi.
Apa yang membangkitkan ambisi sang Panglima bukanlah tahta atau kuasa. Melainkan rahasia dari masa lalu yang tak sengaja dia dapatkan. Sebuah untaian kata yang tersembunyi.
"Bintang yang jatuh, bintang yang terpecah, yang hangus jadi abu. Percikan yang tersisa, menolak musnah."
Penguasa Kegelapan memberinya teka-teki yang sama sekali tidak dia pahami. Dares terus menguraikan deretan kalimat itu di kediamannya sepanjang malam. Hingga satu per satu simbol mantera yang tak dikenalnya muncul.
"Malam, hujan, atas, kendali, hawa, mayangda, mawar."
Bagaimanapun Dares menyusun simbol-simbol mantra, tidak dapat menjadikannya untaian yang berguna. Lembaran kertas di meja yang bertumpuk mulai diabaikan saat rasa kantuk memaksanya terlelap.
Dares bersandar pada kursi sembari meletakkan lembaran terakhir ke atas meja. Kegelapan datang secepat dia mengatupkan mata, mengubah langit-langit mahoni nan bercorak menjadi hamparan sawah yang terbentang jauh ke ujung langit.
Kekaguman bercampur dengan kecemasan yang belum pernah dia perkirakan.
"Ini pasti ilusi mimpi." Logika Dares serentak menyadarkannya.
Bahkan bila di bagian bumi lain terdapat bentangan sawah seluas ini pun, dia ingat bagaimana terakhir kali dia duduk di ruang kerja dan sibuk mencari mantra.
Karena segila apa pun, dia tidak percaya akan melihat tempat yang sebegitu indah. Bagaikan tempat itu belum terjamah oleh makhluk apa pun, termasuk para penyihir.
Keindahan di depan mata itu terlalu sulit untuk dia abaikan. Dares memilih duduk di tepian sawah, menikmati semilir angin yang membawa wewangian tanaman seorang diri.
"Negeri Sihir dahulu kala tampak seperti ini."
Kalimat yang diutarakan tiba-tiba dari samping membuat Dares melompat. Berdiri dalam posisi siaga, bersiap mengambil senjata darurat. Lantas teringat bahwa dia telah menyimpan senjata itu sebelum terlelap.
"Siapa kau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...