Sunyi mengiringi langkah tabib yang melewati lorong istana dalam nuansa penuh kekhimatan. Dia tiba di sayap kanan istana yang menjadi latar kesehariannya pagi ini dan menuju aula utama setelah persiapan nan panjang.
Di hadapan pintu berhias permata, dia mengambil napas dalam, lantas menoleh pada penjaga pintu yang segera bertugas. Sebagai tabib yang seringkali dikirim keluar istana, tidak pernah menduga surat wasiat yang ditinggalkan Tabib Istana akan menitik namanya, menyerahkan posisi penerus yang tak tahu apakah pantas tidaknya dia terima. Tapi jangankan mempertanyakan keputusan, jejak Tabib Istana saja sudah tidak dapat ditemukan.
Di tengah keraguan, tanda sihir yang menjadikannya penyihir pengobatan tingkat kelima muncul begitu saja di kedua tangannya. Tanda sihir di tangan kirinya tampak persis seperti milik Tabib Istana sebelumnya. Tetapi tanda sihir di tangan kanannya tidak dapat dia kenali.
Goresan aksara dalam lingkaran sihir menyiratkan mantra-mantra yang jauh lebih rumit. Bahkan menyimpan aura kegelapan yang mengintimidasi dirinya sendiri. Sekalipun dia yakin itu hanyalah sihir penyembuhan, namun tidak tahu makhluk apa yang membutuhkan jenis sihir ini.
Khawatir penanda sihir itu akan menimbulkan kecurigaan dari penguasa yang membenci pemberontak. Dia membalutnya dengan kain berlapis mantra, menyembunyikan tangan kanannya di balik jubah.
Saat memasuki aula dan menghadap Raja Sihir, dia menunjukkan tanda di tangan kirinya dan menerima gelar Tabib Istana. Karena keputusan yang di luar rencana, dia kembali ke ruang tabib dan tidak mengadakan acara apa pun.
Sang Tabib Istana yang baru, Jival, memasuki ruang utama tabib yang tidak pernah dikunci. Di dalam ruangan itu, tabib yang lain telah menunggunya dengan senyum ramah.
Tabib senior itu memberi hormat pada Jival dan menyerahkan sebuah amplop surat yang bercorak mewah namun ringkas.
Jival membaca isi surat dengan hati-hati, memandang sekilas tabib senior di sampingnya yang menyimpulkan senyum.
Setelah melihat Jival meletakkan surat itu di meja, tabib itu baru berkata.
"Menteri Perang tampaknya peduli dengan penobatanmu. Beliau mengundangmu ke kediamannya setelah mendengar tentang tabib istana yang baru diresmikan."
"Aku paham maksudmu." Dengan gurauan di sudut mulutnya, Jival menengadah dengan tegas. "Kalau begitu, kau pergi menghadiri undangan. Lagipula Menteri Perang tidak hadir dalam acara penobatan. Pasti tak tahu siapa yang menjadi tabib istana di antara kita."
Tabib senior tertawa singkat, lantas menepuk bahu Jival.
"Lebih baik jangan sampai ada yang curiga," ujar Tabib senior.
Cahaya sihir kehijauan muncul di sekitar tabib senior dan baru meredup setelah tanda sihir tabib istana muncul di pergelangan tangannya. Sebuah tanda yang persis seperti milik Jival. Walau lebih besar karena terukir di lengan tabib senior yang ramping.
Jival mengulurkan tangan kirinya dan membandingkan simbol-simbol yang sama persis di dalam lingkaran sihir. Keduanya saling memandang, meratapi seakan mengasihani takdir satu sama lain.
Tanda dan kekuatan yang mengalir dalam inti sihir mereka saat ini lebih seperti peringatan daripada berkah. Kerana belum pernah mereka ketahui tentang dua penyihir yang terpilih sebagai Tabib Istana sekaligus. Entah bagaimana nasib Negeri Sihir kedepannya, mereka hanya dapat menyimpan rahasia masing-masing hingga hari di mana alasan itu akan terkuak dengan sendirinya.
Di tengah obrolan mereka, Jival tiba-tiba menutupi kekuatan sihir Afta dan menoleh ke arah pintu ruang tabib. "Seseorang datang."
Tabib Senior di samping mengangguk. Dia yakin pada kemampuan Jival dalam mendeteksi aura penyihir lain. "Ya, aku tahu. Akulah yang memintanya kemari."
Jival menoleh heran. Belum sempat bertanya, Arifin masuk dan sontak bersimpuh di hadapan mereka. "Apa yang kau perbuat!"
Jival yang tidak tahu perkara, melonjak berdiri dan hendak menarik tabib muda di depan meja bangun. Namun segera ditahan oleh tabib dekiot yang menggeleng padanya, memberi isyarat.
"Anak ini belum lama masuk ke istana, menjadi tabib. Tapi sudah berani menyinggung Menteri Perang. Tuan Tabib, menurut Anda, apa yang harus dia lakukan untuk menebus kesalahannya?"
Jival mendengarkan ucapan tabib senior yang menyilangkang tangan dengan hati-hati. Penyihir satu itu tidak akan berbicara panjang lebar hanya untuk berbasa-basi. Dia sedang menekankan keberadaan tabib baru di istana yang menjadi keraguan dalam benaknya.
Meskipun jarang berada di istana, Jival tahu jelas seperti apa sifat Tabib Istana terdahulu yang malas menerima murid. Seseorang pasti menitipkannya di sini dan Afta mengetahui beberapa hal yang tidak dia ketahui dari guru mereka.
"Jika Menteri Perang masih mempermasalahkan, maka dia pantas dihukum sesuai peraturan," jawab Jival tegas.
Arifin yang menunduk di lantai, hanya diam mendengarkan perkataan keduanya sembari memikirkan cara untuk kabur dari hukuman itu.
"Kita tidak dapat menyinggung Menteri Perang meskipun beliau tidak lagi memedulikannya. Menurutku, sebaiknya dia diusir dari istana dan jangan pernah menginjakkan kaki lagi di sini!"
Arifin baru akan bernapas lega saat mendengar tabib senior menuntut pengusiran. Setidaknya dia tidak harus menyerahkan nyawa untuk menyenangkan mereka.
Tetapi Tabib Istana yang baru justru kembali duduk dan berkata, "Aku tidak setuju."
Arifin melotot kesal, bahkan hampir menengadah untuk melihat paras tabib yang baru dia ketahui.
"Dia hanya seorang tabib. Tapi berani menyinggung pemimpin kesatria sayap perak. Itu penghinaan yang besar! Kirim dia ke penjara! Biarkan dia belajar menghormati para prajurit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...