Jauh dari mereka, di bawah langit-langit penjara yang kaku. Arifin yang sedang mereka bicarakan, menengadah untuk memperjelas pandangannya.
"Apakah penglihatanmu masih kabur?"
Pertanyaan itu membuat Arifin segera menoleh, mengenali wajah prajurit yang telah membelanya, tersenyum.
"Aku pernah melihatmu. Kau prajurit yang ketahuan menyelinap ke ruang tabib," tebak Arifin.
Prajurit itu sontak mendekati Arifin, kemudian bangun dari tempatnya dengan kaki pincang.
"Kau salah lihat. Prajurit gagah sepertiku tidak mungkin penyusup." Lio mengipas debu di lengan bajunya sambil berbicara. Di balik tawa garing penyihir itu, tersembunyi rasa sakit seperti kaki yang terlilit rantai besi.
"Aku tahu kau tidak akan mengaku," sekak Arifin, membuat Lio langsung terdiam.
Arifin jelas mengatai dirinya sendiri. Karena saat ini pun dia masih berusaha menggali informasi dari para prajurit yang datang kepadanya untuk diobati. Kecuali untuk prajurit di depan yang justru mengulurkan tangan untuk menolongnya. Dia pasti akan membalas budi ini suatu saat nanti.
Tapi sekarang, hanya sihir penyembuhan yang mampu dia mantrakan untuk membalas kebaikannya. Cahaya kehijauan muncul dari telapak tangan dan melingkupi kaki prajurit yang pincang.
Lio tersentak oleh hawa sejuk yang merambati mata kaki. Dalam beberapa detik, tidak lagi terasa sakit. Kekuatan penyembuhan yang begitu luar biasa menambah kekagumannya pada para penyihir tabib di istana.
Seketika Lio yang menengadah dan hendak menyampaikan terima kasih, tertegun oleh rambut keperakan Arifin.
Di bawah sinar lentera, dia tidak dapat memastikan apakah itu memang warna asli dari rambut Arifin. Tetapi saat mata keabu-abuan itu memberi rasa waspada yang sama seperti terakhir kali mereka bertatap muka di lorong istana. Ikatan masa lalu yang sempat tertimbun di pikiran Lio terus bermunculan.
Rasa bersalah yang dia kira akan termaafkan setelah melihat penyesalan sang Peramal Istana justru berubah menjadi kekhawatiran ketika tabib muda itu kesulitan.
Bagaimana pun dia mencoba, tidak dapat mengelakkan rasa akrab yang timbul setiap kali siluet Arifin mengingatkannya. Kecurigaan yang dalam itu membuat Lio menajamkan sorot matanya tanpa sadar. Hampir mengucapkan mantra yang tidak akan dia gunakan hanya demi penasaran semata.
"Wahai permata mata malam yang mencakup lintas waktu benua," ucap Lio yang hampir terbisik di telinga Arifin.
Pada waktu bersamaan, cahaya lemah berkedip dari tanda tugas tabib. Arifin segera bergegas dan menyela mantra yang belum diusaikan Lio.
"Aku pergi dulu! Terima kasih untuk ...," sorak Arifin yang menghilang di balik pintu ruangan.
Lio yang baru menyadari kecerobohannya, meninju dinding dengan kesal memaki, "Bodoh! Bisa-bisanya kubiarkan hal itu mengganggu!"
Begitu keluar dari ruang tabib. Arifin berhenti untuk berbalik, menatap pintu dengan mata abu yang tajam.
Mantra yang baru saja diucapkan oleh prajurit penjara itu seperti memanggil kekuatan ramalannya. Jika dia tidak meninggalkan ruangan pada saat yang tepat, prajurit itu jelas akan mempertanyakannya.
Sementara baru pemanggilan terus berkedip, Arifin melangkah ke arah cahaya lentera sihir berpijar, meninjak lantai penjara yang dingin dan kosong. Perlahan-lahan menghilang dalam raup tembok yang bisu.
Siang maupun malam, seperti tiada arti dalam sangkar kemegahan istana sihir yang tersembunyi. Meski demikian, seseorang harus bekerja keras saat mata-mata yang mengawasinya terlelap.
Hanya sang bulan di cakrawalalah yang memandang dingin, mengacuhkan makhluk lemah yang menjejakkan kaki di lorong istana, menyelinap ke ruang tanpa penjagaan.
"Berhenti! Dilarang masuk ke ruangan Panglima tanpa izin!" hadang prajurit yang menarik keluar senjata guna mencegah penyusup.
Penyusup itu memantrakan sihir. Sebuah senjata yang lebih kuat muncul dan menangis senjata prajurit yang menghalanginya.
Dengan angkuh dia memaki, "Penyihir jelata sepertimu beraninya melawanku yang keturunan bangsawan. Kau hanyalah bawahan yang mengikuti Panglima. Bahkan jika itu adalah Panglima sendiri pun. Dia masih harus memanggilku dengan sopan!"
Prajurit yang menyadari penyusup itu memiliki inti sihir tingkat ketiga, hanya bisa meletakkan senjatanya dan mundur perlahan seraya menunduk.
Penyusup mengira lawannya takut padanya, mengukir senyum angkuh di sudut bibir, memandang remeh prajurit yang semakin jauh. Dia membuka pintu ruangan tanpa mengetuk.
Saat dia masuk, gelombang sihir yang kuat justru menghempasnya keluar, menabrak dinding hingga beberapa bagian terkelupas.
"Siapa yang berani menyerangku dari belakang? Tunjukkan wajahmu! Pengecut!"
Prajurit penjaga menghampiri ketika Dares melangkah keluar dari ruangan, memperhatikan dengan tidak habis pikir. Benar apa yang dikatakan oleh tuannya. Para keturunan bangsawan terlalu dibutakan oleh kesombongannya. Bahkan saat dia seharusnya mengintai dalam diam, menyelinap dalam gelap selagi ada kesempatan. Tak seharusnya penyusup itu meremehkan Dares tepat di depan ruang kerjanya.
"Tidak mengenal takut sebelum menuju pintu penghukuman!"
Penyusup bergeming depan kepala menengadah. Luka di punggungnya cukup untuk membuat dia tidak dapat berdiri selama sebulan. Tetapi belum sempat berucap sepatah kata, asap hitam menyelimuti sekitaran. Tangan-tangan hitam yang muncul dari ketiadaan terus menariknya turun, mencabik-cabik.
Dia tidak dapat melihat sosok Dares yang berbicara di hadapannya. Juga tidak dapat bersuara seakan kehilangan indra pengecap. Pupil matanya memandang langit-langit dengan kosong. Jiwanya berteriak dalam jerat yang berlomba merenggut nyawa.
Saat aura kegelapan hampir menggerogoti pikiran penyusup itu. Dares seolah tersadar dan bergegas menarik ilusi penghukuman yang dia sendiri tidak tahu bagaimana menguasainya. Itu jelas sihir terlarang yang tak pernah diketahui penyihir manapun.
Prajurit yang sedang berjaga dan tak tahu menahu, melirik heran pada penyusup yang mendadak terbaring kaku, tidak bersuara.
"Tuan Panglima. Haruskah saya mengirimnya ke penjara untuk diinterogasi?" tanyanya, menunggu perintah Dares sembari membungkuk, memeriksa keanehan yang ditunjukkan oleh penyusup.
Dares berbalik, mengabaikan penyusup itu dan mengisyaratkan prajurit kepercayaannya untuk berbicara dalam ruangan.
"Biarkan dia."
Prajurit menerima perintah dengan patuh, masuk dalam batas sihir ruangan yang tadi menghempas penyusup dengan hati-hati. Setelah pintu ruangan tertutup rapat. Ruangan sekali lagi tersegel oleh sihir pelindung yang rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...