Chapter 24 - 3

7 2 0
                                    

Lio terdiam dan tampak berpikir untuk waktu yang lama sampai kemudian menjawab, "Aku akan menyuruhmu menjaga pintu menara!"

Gelak tawa mereka terdengar hingga serangga malam terkejut. Tetapi cahaya keesokan hari rupanya tidak menyetujui kemauan mereka.

Pada hari yang hening itu, Lio melihat dari tempat tersembunyi di sekitar menara saat Peramal Istana tiba-tiba marah dan mengusir Neo keluar dari menara sihir. Neo memohon sangat lama dan berlutut di hadapan pintu berukir sihir yang mematung dingin.

Lio tidak tahan melihat hal yang menimpa Neo dan pergi menemui Peramal Istana. Hendak menuntut keadilan atas pengusiran Neo yang alasannya tidak mereka ketahui.

Biar begitu, Peramal Istana justru membujuknya dengan posisi pewaris dan menjanjikan dukungan baginya di hadapan Raja saat pemilihan nanti.

Lio yang marah, menganggap Peramal Istana telah bertindak tidak masuk akal, tidak dapat dipercaya. Dia berteleportasi keluar untuk memperjelas masalah itu kepada Neo.

Sayangnya dia tidak dapat menemukan sahabatnya di manapun.

Belakangan, dia mendengar sahabatnya telah menjadi prajurit rahasia raja yang hidup-matinya terikat dalam aturan.

Kekecewaannya tumpah. Lio memutuskan untuk meninggalkan posisinya sebagai murid menara sihir dan menyalahkan dirinya yang terlambat mengejar Neo.

Dalam kesedihannya, Lio bertemu dengan seorang prajurit di tengah jalan yang memberitahu.

"Jika kau ingin melihat penyesalan sang Peramal Istana, maka tunggulah di penjara rahasia Raja."

Ucapan yang serta-merta itu seperti cahaya dalam ketidakpastian murid menara sihir yang kehilangan arah.

Lio kemudian menggunakan gelar bangsawannya, mendaftarkan diri sebagai prajurit di istana sampai saat ini. Apa yang didengarnya memberi pembuktian yang nyata.

Meskipun telah melihat kejatuhan Peramal Istana, kekecewaan dalam hati Lio belum memudar. Dia terus menelusuri lorong dengan lelah, berjalan kaki seolah titik teleportasi yang dia lewati hanyalah pajangan lantai biasa.

"Air adalah angin sejuk. Air terbang, mengambang. Air jatuh, menetes. Air berubah, mengalir." Terdengar helaan napas yang panjang. "Rumit sekali bahasanya. Kenapa tidak langsung bilang hujan saja."

Lio tersentak mendengar kalimat datar dari sisi lain. Baru sadar kalau dia telah melangkah hingga ke tempat para tabib bekerja.

Sebelum ketahuan memasuki area yang bukan tugasnya, Lio ingin pergi dengan mantra teleportasi. Baru saja dia berbalik, siluet anak laki-laki yang dikenalnya muncul seperti keajaiban.

Rambut perak halus yang menguning di bawah sinar rembulan tampak kecokelatan. Raut wajah bingung yang tetap fokus membaca buku, serta tatapan mata yang begitu akrab.

Pemuda di depannya masih bergumam saat Lio menepuk bahunya, menyebut nama yang telah lama tidak terucap.

"Neo!"

Pemuda dengan seragam tabib yang ditepuknya melongo heran.

"Apa? Siapa, siapa kamu?"

Ucapan pemuda itu membuat Lio tertegun.

Pada saat yang sama bayangan dedaun menutupi cahaya bulan. Helaian rambut pemuda yang bersinar keperakan dalam keremangan. Tatapan yang sebelumnya lembut, berubah menjadi kejam. Seperti mata serigala yang mempertahankan diri dari serangan predator lain, menegaskan kalau dia sama sekali bukan orang yang Lio kenal.

"Arifin! Kemari dan bawakan buku-buku ini!" sorakan dari ruang tabib tak membuat Lio berpaling.

Sedangkan pemuda yang dikiranya sebagai Neo pun segera menyahut.

"Baik! Saya ke sana!" Menoleh sekilas pada Lio yang masih tidak percaya telah keliru.

Arifin mengabaikan prajurit yang tersesat dan masuk ke ruang tabib, meninggalkan cahaya sihir teleportasi yang membawa Lio pergi.

Saat berlari kembali, Arifin tidak menemukan siapapun di lorong.

"Aneh," gumamnya menggema ke ujung. "yang barusan itu, seperti pernah lihat."

Tapi di mana dia pernah melihatnya, Arifin tidak tahu. Malam yang damai ini memberinya perasaan akrab yang tidak mengenakkan. Bahkan angin yang tiba-tiba meniup tengkuknya pun mengejutkan dia hingga kabur ke ruangan tabib.

Dalam ruangan yang dipenuhi obat-obatan, Arifin memperhatikan Tabib Istana yang sedang menyerahkan ramuan penghilang bekas luka kepada seorang wanita bangsawan yang tampak garang.

Sebab penyihir wanita manapun yang memiliki bekas luka pasti akan menjadi bahan pembicaraan. Seperti mengumumkan kekuatan yang lemah pada penyihir manapun yang melihatnya.

Karena itu jugalah, tidak banyak wanita penyihir yang mendaftar sebagai prajurit. Mereka lebih memilih menjadi dayang atau pelayan, mengambil resiko luka yang mampu mereka sembuhkan sendiri.

"Anda sudah bekerja keras. Mintalah izin yang mulia Raja untuk beristirahat. Dalam dua hari, bekas luka ini pasti akan sembuh," ucap Tabib Istana, memberi nasehat.

Arifin yang mendengarkan dari sudut segera mengalihkan perhatian.

"Apa yang kamu tahu, Tuan. Setelah ini, pekerjaanku akan lebih sibuk lagi. Jadi berikan juga obat penutup luka," sangkal wanita yang mengambil tanda pengenalnya.

Mata Arifin tidak sengaja tertaut di sana, mengirim gejolak intimidasi yang tajam. Wanita bangsawan yang dia kira hanya pejabat biasa, ternyata sang Menteri Perang yang terkenal sangat kuat.

Jika pemilik inti sihir tingkat ke empat itu bahkan memiliki bekas luka, maka lawannya pasti seseorang yang amat kuat atau raksasa yang setara dengan kekuatan Raja Raksasa yang tuannya hadapi.

Tabib Istana tampaknya tahu siapa yang Menteri Perang hadapi, makanya mengirimkan isyarat padanya untuk tidak bertanya perihal ini.

"Pergilah ke ruanganku dan ambilkan kotak di atas meja."

Arifin mendengarkan perintah Tabib Istana, melangkah ke ruang tabib yang luas. Di manapun dia melihat, berbagai jenis ramuan terletak di dalam rak. Namun tidak ada satu pun kotak ramuan di atas meja seperti yang diminta Tabib Istana.

Sewaktu berbalik, angin sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambutnya, mengantar semilir dingin yang mengubah pandangan.

                                                                                          

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang