Chapter 19 - 2

2 2 0
                                    

Di lain tempat, sebuah gerbang kota dibuka untuk orang-orang desa yang berlalu lalang membawa berbagai macam dagangan. Hari itu merupakan pekan raya yang mengundang rasa penasaran rakyat untuk berkunjung ke ibu kota kerajaan.

Kebetulan pada saat itu, Willy dan Jingga yang menyamar sebagai anak laki-laki sedang melewati jalan utama. Mereka berpapasan dengan kereta kuda yang berhenti di tengah jalan dan menurunkan seorang wanita beserta ketiga anaknya. Kusir kuda mengusir mereka dengan ketus sampai Jingga yang melihat dari kejauhan tidak dapat menahan emosi. Dia mendekat dan memarahi dengan keras hingga kusir itu meminta maaf, lalu terburu-buru pergi.

Willy mengejar Jingga setelah menitipkan kereta kuda pada petugas yang berjaga.

"Tunggu! Bukankah Anda ...." Willy menghentikan ucapannya saat wanita di depan memberi isyarat.

Mereka menepi ke sebuah kedai minum yang sepi bersama anak-anak dan Jingga. Duduk setelah melihat meja paling ujung yang jauh dari kasir.

Barulah Willy memperhatikan mereka dengan seksama dan menyambung pertanyaannya.

"Anda Istri Wali Kota? Bukankah Anda menjadi tahanan rumah karena kasus itu?"

Jingga melebarkan mata terpukau. Dia tidak memiliki keberanian untuk bertanya seperti itu pada orang yang dia kenal.

Wajah wanita di seberang meja seketika menghitam. Dia menahan amarah dan berusaha mengabaikan pertanyaan lancang Willy. Bagaimanapun, dia memang dihukum sebagai tahanan rumah dan kehilangan gelar bangsawan sejak suaminya, Prasetyo ditangkap.

Untuk meredakan amarahnya, dia menoleh ke arah Jingga yang tidak dia kenal. Anak-anak di samping tetap diam setelah diperingatkan untuk tidak mengatakan apa pun selama perjalanan.

"Keluarga kami dibebaskan karena tidak ada bukti keterlibatan dan," jawab Wanita itu terhenti. Dia menunduk untuk menyembunyikan mata yang memerah, melanjutnya dengan parau, "kasus ditutup."

Willy melonjak kaget. Sebelum dia berangkat ke desa, kasus pembunuhan telah memusingkannya selama beberapa hari karena Prasetyo yang ditangkap atas tuduhan pembunuhan, juga dicurigai telah membunuh beberapa pelayan yang selama ini dikirim ke rumah di tepi kota. Tetapi tidak ada surat perintah untuk memeriksa tempat kejadian dan sebagai sekretaris di kantor wali kota, Willy yang terus dipanggil serta diinterogasi.

"Bagaimana mungkin kasus itu ditutup secepat ini?" heran Willy.

Terutama kesal karena hal yang membebaninya hingga dia terlambat menemui Jingga ternyata selesai begitu saja tepat setelah dia kembali ke kota.

"Karena dia meninggal di bawah pengawasan penjara, kasus ini ditutup." Wanita yang menjadi istri walikota, menyambut tatapan kaget Willy dengan anggukan. "Kami pergi ke ibu kota kerajaan untuk melakukan upacara pemakaman."

Seketika Willy baru memperhatikan warna busana yang mereka kenakan. Hitam yang menandai duka cita di kerajaan berbeda dengan budaya di kota mereka, sehingga dia tidak menyadarinya sejak awal.

"Tidak mungkin itu terjadi."

Jingga yang akhirnya mengerti siapa yang sedang mereka bicarakan, bertanya dengan penuh keraguan. Sejak mendengar kisah Willy tentang Prasetyo yang menyelamatkannya saat dia masih kecil, Jingga kagum dan mengidolakan sosok seperti pahlawan yang ramah serta berwibawa. Ketika mendengar wali kota dituduh membunuh pelayan, Jingga dengan cepat mencurigai pelayan yang menggunakan identitasnya. Sesalnya, dia tidak menemukan bukti dan hanya dapat bergantung pada keputusan kerajaan.

"Itu memang dilakukannya," sela Istri wali kota, menarik rasa ingin tahu yang telah lama dipendam Willy.

Dari hasil penyelidikannya, Willy menemukan kasus yang dituduhkan pada Prasetyo terlalu berlebihan. Waktu kematian dan hilangnya korban, kadangkala berbenturan dengan waktu kerja Prasetyo di kantor. Meskipun adakalanya Prasetyo meliburkan diri dan pergi mengunjungi rumah di tepi kota yang mengatasnamakan Amarilis, pekerjaannya masih disambung melalui telepon.

Anak sulung yang sejak tadi mendengarkan dalam diam, angkat bicara dengan suaranya yang kecil, "Ayah dipaksa. Aku melihat malam itu, orang itu memaksanya."

"Siapa?" Willy dengan segera mendekat.

"Omong kosong apa yang kamu katakan. Diam di sana! Jangan membuatku marah!" Istri wali kota membantah dengan kesal.

Dia menggenggam lengan putraku yang akan menangis, tangannya gemetar dan punggungnya berkeringat. Wajahnya seketika memucat.

Willy menepuk tangan wanita yang gemetar dan mengisyaratkan untuk tetap tenang. Dia tidak ingin memaksa jika wanita itu enggan mengungkap rahasia.

"Saya tidak dapat mengatakannya saat ini." Wanita itu mengalihkan pandangannya dengan anggun dan melepaskan tangannya dari sentuhan Willy. Dia berlalu bersama anak-anaknya dan meninggalkan sebuah catatan.

Kertas itu berisi alamat yang segera disimpan Willy dengan cepat. Dia harus lebih cepat dari pandangan orang yang telah mengawasi keluarga Prasetyo. Beberapa hari lagi, dia akan menemukan jawabannya dengan berkirim surat.

Selama Willy membawa Jingga keluar dari kedai minum, pikirannya terlekat pada surat kepemilikan tanah dan bangunan yang menggunakan nama Amarilis. Setahunya, wanita yang saat ini menetap di rumah itu bernama Amaranta. Tanda kepemilikan tidak akan menggunakan nama orang yang telah tiada jika mereka masih memiliki keturunan.

Lantas nama Amarilis menjadi sesuatu yang mengakar dalam kecurigaannya. Mereka yang bertujuan meninggalkan kota asal dan menetap di ibu kota kerajaan, memutuskan untuk mencari penginapan sebelum berangkat kembali usai menerima kabar.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang