Chapter 19 - 3

3 2 0
                                    

Lampu dalam ruangan padam seiring suara ledakan yang mengguncang kekhawatiran penduduk kota. Di yayasan pekerja, Belatik yang sedang memeriksa daftar pelayan baru bersama Siti terhenti oleh ketukan pintu di luar.

"Segera masuk dan katakan apa yang barusan terjadi!"

Kusir kuda membuka pintu dan masuk sembari menunduk. Melirik sekilas ke arah Siti yang memasang wajah khawatir. Sudah tahu untuk menjaga mulut di depan wanita yang memiliki intuisi tinggi itu.

"Bencana alam terjadi di desa dalam hutan." Kusir kuda menilai tanggapan Siti yang menutup mulut dengan mata terbelalak. Jelas wanita itu akan terkejut mendengar kabar tentang kampung halamannya. "Tanah longsor dan menimbun desa. Tidak ada korban yang selamat," ujarnya kemudian.

Siti terguncang. Dia meraih kursi dan duduk dengan wajah pucat. Keluarganya, tetangga dan saudaranya. Tidak ada dari mereka yang selamat dari bencana alam.

"Tenangkan dirimu, Siti. Mungkin saja ada korban selamat. Sebaiknya kita langsung meninjau ke sana." Belatik melangkah keluar ruangan dan mendorong pintu. Wajahnya memucat sangat menabrak pelayan di depan pintu. "Dasar tidak berguna," gerutu Belatik pelan. Dia mengingat wajah pelayan itu dan menargetkannya.

Kereta kuda membawa Belatik bersama Siti, melewati pepohonan dengan cepat dalam perjalanan yang hening. Tidak hanya Siti yang menahan kesedihannya, Belatik menjaga emosinya untuk tetap terbendung. Kusir Kuda baru berani berbicara setelah mereka tiba di gerbang desa yang hancur berantakan.

Mereka dibantu turun dari kuda dan melihat proses evakuasi korban dari kejauhan. Siti mendekati prajurit yang sedang menutupi wajah korban dan bertanya apakah mereka menemukan gadis belia dengan rambut panjang berparas indah.

Kedua prajurit yang sedang mengumpulkan mayat, menggeleng dengan bingung. Dari belasan mayat yang mereka temukan, tidak ada mayat dengan ciri-ciri seperti itu.

Belatik yang menyadari pertanyaan Siti, mendekat dan menepuk bahunya. "Apa Jingga yang kamu cari?"

Dengan segera Siti menoleh. Matanya bersinar penuh harap. "Ya, ya. Apa ada yang menemukannya? Apakah dia selamat?"

"Gadis itu mungkin tidak tahu apa yang terjadi di sini. Sebulan yang lalu, dia kembali bekerja di tepi kota. Tidakkah dia mengabarimu?" terang Belatik yang menaruh curiga.

Siti menggelengkan kepala. Dia membungkuk di samping barisan mayat dan hendak memeriksa wajah kerabat serta orang-orang desa. Tetapi segera dilarang oleh prajurit yang bertugas.

"Jangan dilihat! Para korban bencana sudah tidak dapat dikenali. Sebaiknya Nyonya kembali dan menunggu hasil otopsi."

Sejak meninggalkan desa, Siti tidak mengatakan satu kata pun. Dia kembali ke yayasan dan mengunci diri di kamar.

Belatik sendiri tidak memiliki waktu untuk mengurusi hal lain. Dia harus mengirimkan kabar ke ibu kota kerajaan agar desa yang berada dalam naungan wilayah itu diproses.

Dalam ruangannya, dia memijit kening di depan berbagai macam dokumen yang tersusun rapi. Ketukan seseorang di pintu mengejutkannya hingga dia menumpahkan tinta dan menetes di kaca lentera yang remang.

"Siapa di luar?"

Semarah apa pun dirinya, dia akan menjaga etika seorang wanita bangsawan yang mengharuskannya berpikir jenih. Siapa pun yang mengetuk dengan ceroboh, dapat dipastikan bukan subordinasinya.

Benturan keras di pintu membuat Belatik memicingkan mata ketika pintu dibuka. Ujung kain hitam yang lusuh menguak sosok familiar. Pada saat itulah dia gelisah.

"Apa yang kau perbuat di sini!"

Belatik memandang ragu pada punggung bungkuk yang menengadah dan memaparkan bentuk wajahnya hingga Belatik tertegun.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang