Malam hari di rumah Ny. Amaranta. Candramaya yang kehilangan suara menyusup keluar dari kamar, menuju ke dapur dan berusaha menggeser lemari tanpa menimbulkan suara.
Lemari digeser dengan cepat, satu per satu kayu diangkat dan sebuah lorong gelap tampak tak berujung. Dengan batu hitam yang bersinar di tangannya, Candramaya tidak memerlukan lentera. Jalan gelap itu dia lalui setapak demi tapak untuk berada pada kebuntuan. Baru pada saat itulah dia menemukan hal yang salah.
Lorong yang pernah dia lalui sangat panjang hingga dia memerlukan waktu semalam untuk meninjau tanpa ujung. Namun baru beberapa meter dan tembok dari tanah liat telah menghalangi jalannya.
Candramaya mendekati dinding dan terkesiap oleh cahaya lentera yang menyorotinya dari belakang.
Seseorang dengan jubah hitam serta topeng mengerikan berdiri kaku, mengangkat lentera dengan satu tangan dan tangan lain memegang pisau. Sosok ini menyerupai Prasetyo yang pada saat itu membius Nindi dan menikamnya dengan pisau.
"Siapa kamu?" Candramaya menyembunyikan batu hitam secepatnya.
Sosok itu tampak mengangkat kepala dan menurunkan tudung jubah. Rambut ikal yang tebal tampak berantakan dan beberapa tetes darah jatuh dari ujung rambut.
Suaranya menggema keras seakan diteriakkan oleh dua orang sekaligus. "Aku adalah pencabut nyawamu!"
Sosok berjubah itu tidak bergerak. Tetapi Candramaya merasakan tubuhnya ditahan oleh tanah liat di dinding. Aura raksasa di tempat itu melonjak dengan cepat dan menekan kekuatan sihir yang Candramaya dapatkan dari batu hitam.
Saat-saat tak terduga, Candramaya merasakan getaran dari tempat nan jauh sedang datang untuknya.
Di kedalaman hutan yang berkabut, laba-laba raksasa mengeluarkan keempat kaki depan bersamaan sampai menimbulkan goncangan keras. Beberapa pohon di sekitar tumbang dan membuat kebisingan lain dalam kegelapan. Tubuhnya yang berada di ketinggian pohon menampakkan kengerian dari kedua mata merah besar. Garis-garis putih di kaki hitamnya meninjak batang pohon yang patah dengan mudah. Berjalan dengan kaki raksasa, menuju ke arah bulan mewujud sabit di atas rumah Nyonya Amaranta.
Mulut laba-laba raksasa itu terbuka dan memuntahkan arwah-arwah hitam yang dengan terbang dengan laju menuju tujuan. Candramaya yang berada di bawah lorong masih terpaku saat sosok berjubah berbalik meninggalkannya. Dia tidak dapat berteriak karena kehilangan suara saat arwah-arwah hitam datang dan mengelilingi dia, menggerogoti kekuatan sihir sedikit demi sedikit hingga rasa sakit dari gigitan arwah hitam merenggut kesadarannya. Pandangannya yang kabur melihat sosok yang paling ingin dia lihat.
Pria dengan mata biru bak danau yang memandangnya teduh dan tersenyum bahagia oleh pujiannya. Lelaki itu, Dares yang tidak dia lihat setelah sekian lama datang padanya dan berlari dengan khawatir, mengulurkan kedua tangan untuk mendekap yang hilang oleh kenyataan. Bayangannya, siluetnya, senyum yang terukir di wajah orang yang dia cintai dan deminya dia kehilangan kekuatan sihir. Ternyata hanyalah bayangan palsu yang dibuat pikirannya sendiri untuk menghiburnya.
Dinding tanah liat di belakang Candramaya berguncang dan retak menjadi pintu yang mengarah ke hutan. Batu hitam bersinar dan menghalau pergi arwah-arwah hitam. Candramaya dengan cepat pulih dan berjalan di bawah bayangan awan. Bulan yang menyipitkan mata tidak dapat melihatnya melintasi hutan dalam kecepatan teleportasi. Tatapannya kosong dalam kendali kekuatan batu hitam yang mengarahkannya langsung pada laba-laba raksasa di tengah hutan.
Ketika laba-laba raksasa itu mencoba menyerangnya, Candramaya menyebutkan mantra yang hanya dapat digunakan keturunan penyihir murni dan telah dilarang dalam abad-abad terakhir.
Suara dalam dirinya berteriak, "Jangan lakukan itu!"
Tetapi Candramaya tidak mungkin mendengarkan ucapan semu itu di saat pikirannya sendiri mengusik rasa rindu yang telah dia kuburkan sedalam mungkin dalam hati. Siluet Dares yang dia lihat beberapa saat lalu, mengenakan mahkota bintang tiga dengan jubah kekaisaran dan memberinya senyuman. Sementara di balik pria itu, raungan dan jeritan penyihir tampak menggelegar, jatuh dalam penderitaan di mana bara api berkobar.
Mantra terlarang dinyanyikan dalam satu tarikan napas yang panjang.
"Aku Putri Raja Sihir, bersumpah untuk mengikatmu dengan jiwa dan inti kekuatanku."
Rantai sihir melonjak keluar dari tanah dan menjerat laba-laba raksasa hingga tertunduk. Bulan memantulkan sinar perak pada rantai yang melingkari Candramaya seiring rantai itu melekat pada laba-laba yang memberontak.
"Aku penjarakan keberadaanmu dengan tulang-berulang yang utuh."
Tanah berguncang dan lingkaran sihir muncul satu per satu mengelilingi laba-laba. Menara keluar dari lingkaran sihir dan meninggi seperti yang telah dijelaskan dalam buku mantra.
Air matanya jatuh saat mengucapkan mantra terakhir," Menyeretmu turun bersama dalam keputusasaanku."
Angin kencang mengitari sekitar. Rantai-rantai sihir mengeras dan menarik laba-laba raksasa yang pertahanannya runtuh, terperangkap dalam kepungan menara yang menyempit. Tubuh fana laba-laba remuk, jiwa dan kekuatan terperangkap dalam diri Candramaya yang memuntahkan darah setelah mantra segel selesai.
Pepohonan masih berguncang dengan kuat bahkan setelah Candramaya meninggalkan area hutan, kembali ke rumah Amaranta seakan tidak terjadi apa pun.
"Berhenti mengikutiku," cegat Candramaya tiba-tiba.
Terpaan angin melembut, gemerisik dedaunan berhenti. Candramaya menyeret kakinya yang lelah setelah berjalan jauh. Sebuah simbol laba-laba terukir di atas mata kaki kirinya dengan lingkaran sihir.
Sementara di tempat lain, seorang wanita dengan tergesa menuruni tangga bawah tanah rumahnya, membuka pintu yang mengarah pada ruangan dengan ratusan buku-buku tua bersimbol rumit.
Di tengah ruangan, kegelapan merangkak keluar dari diagram lingkaran lilin-lilin yang jatuh dan padam.
"Oh tidak. Bagaimana raksasa itu bisa mati!" Jeritannya menggelegar hingga pelayannya yang berdiri di luar mengetuk pintu dengan waspada.
"Nyonya," Pelayan itu tahu dia tidak seharusnya bertanya lebih lanjut, tetapi kekhawatiran tuan juga keresahan pelayannya. "Apa yang terjadi?"
Nyonya Bangsawan itu menunjukkan wajahnya yang menekuk dengan garang. Keriput yang menunjukkan umurnya bermunculan secara lancang.
"Cari tahu siapa saja yang memasuki area hutan! Aku akan membuatnya membayar dengan cara paling mengerikan menuju kematian."
Pelayannya menunduk dengan patuh dan meninggalkan rumah Nyonya Bangsawan yang masih menggerutu di ruang bawah tanah.
Di awal pagi yang tenang, Candramaya mendengar bunyi lonceng dan segera beranjak, membukakan pintu bagi Belatik yang masuk dengan dandanan menor dan bersangga pada genggaman kusir kuda untuk melangkah ke dalam ruang Tamu. Nyonya Amaranta menyambutnya dengan hangat seperti biasa. Mereka berbincang hingga menjelang sore dan Belatik pun pamit kembali.
Beberapa hari kemudian, Belatik semakin sering mengunjungi Ny. Amaranta, menceritakan hal-hal baru di ibukota kerajaan dan berita tentang bangsawan-bangsawan yang menemukan pasangan mereka.
Selama berminggu-minggu, Candramaya tidak dapat menemukan petunjuk apa pun tentang sosok berjubah yang menemukannya di lorong. Lorong tersembunyi di dapur itu kembali menjadi jalan panjang yang tidak mengarah ke hutan. Dia terlalu ragu untuk menguji secara langsung Nyonya Amaranta. Sedangkan pelayan-pelayan lain semakin menjauhinya.
Satu bulan berlalu dengan tenang. Pada awal bulan berikutnya, malapetaka yang mengintai sebagai hukuman menggunakan sihir terlarang benar-benar datang.
Candramaya terbangun oleh rasa sakit di kaki kirinya yang membuat dia meraih batu hitam, berusaha membacakan mantra penyembuhan tanpa hasil. Tanda laba-laba di sana seolah menggerogoti tulang, berusaha merangkak keluar dari daging yang berlumuran darah. Keringat dingin menetes dari kepala hingga punggungnya. Walau begitu, tidak dapat merenggut kesadaran Candramaya dan membuatnya menahan rasa sakit selama bulan berkuasa di cakrawala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...