Chapter 16 - 2

2 2 0
                                    

Dengan putus asa, Jingga berteriak , "Jangan melawan lagi. Berikan batu terkutuk itu padanya agar keluargaku bebas."

Aldo melirik untuk menanyakan pendapat pemegang batu. Tetapi Candramaya tahu apa pun yang mereka lakukan untuk keluarganya akan sia-sia. Tanpa kekuatan sihir gelap yang diaktifkan Lana pun, taraf hidup orang-orang di desa telah habis. Waktu yang berjalan di desa semakin disesuaikan dengan dunia luar. Sihir terlarang nan tercela itu telah sampai di puncak kekuatannya. Seperti parasit yang akan segera menghabisi inang dalam jangkauannya.

"Tidak ada gunanya!" Candramaya beranjak dengan kekuatan batu hitam dan menarik Jingga menjauh dari lingkaran sihir Lana.

Pada saat yang tepat, seseorang datang dengan lentera dan menarik Jingga, memandang sesaat pada makhluk mengerikan yang melayang di tengah ruangan. Makhluk apa pun itu, tidak berarti bagi Willy yang akhirnya menemukan gadis pujaannya.

"Ayo pergi, pembatas di gerbang desa telah hancur." Willy mengisyaratkan bahwa mereka dapat keluar.

Willy mengangkat lentera dan menerangi jalan, Candramaya meyakinkan Jingga bahwa mereka harus pergi sebelum Lana sampai di mantra terakhir. Ketika Willy membawa Jingga keluar dari rumah, Candramaya berdiri di depan pintu untuk menghalangi arwah-arwah hitam yang dikendalikan Lana.

"Cepat pergi dari sini!" teriak Candramaya, menyaksikan arwah-arwah hitam dari bawah rumah menunjukkan diri dan mengitari Lana yang sedang membaca mantra selanjutnya, melingkupi penyihir gelap itu dalam kegelapan yang sama dengan cakrawala.

Candramaya mengambil tusuk konde di rambut Jingga dan melemparnya ke atas, menancap tepat di bahu Lana yang sedang mengendalikan aura raksasa.

Kekuatan sihir Lana hilang. Dia menyumpah serapah, jatuh ke lantai dan terbatuk-batuk. Matanya yang merah memandang benci pada Candramaya seolah mengingatkannya pada ratu sihir.

Mengambil kesempatan, Candramaya mengejar Jingga dan Willy yang telah berlari cukup jauh hingga keluar dari gerbang desa.

"Jingga ...." Panggilan itu membuat Jingga menoleh pada sosok akrab di dalam gerbang desa.

Siluet Aldo dengan raut yang rumit, perlahan menghilang bersama senyum tipis. Dia terpaksa membiarkannya pergi agar Jingga dapat hidup.

Jingga yang merasakan perpisahan itu, mengulurkan tangan untuk meraih bayangan Aldo. Tetapi sosok itu langsung lenyap saat ledakan keras terdengar dari dalam desa.

Perumahan ambruk dan rumah-rumah di desa hancur dalam kepingan yang berserakan. Kenyataan bahwa dirinya menjadi sebatang kara menghantam batin Jingga yang berteriak histeris hingga tidak sadarkan diri.

Sementara Candramaya tetap diam meski pemandangan itu memberinya peringatan tentang masa depan yang telah ditunjukkan kepadanya. Kehancuran, kematian orang-orang yang dia cintai, kemusnahan tak bersisa. Ledakan keras dan jeritan pilu Jingga terus terngiang di telinganya. Hingga cahaya api lentera yang dibawa Willy pun terasa menakutkan.

Willy memapah Jingga dan tidak jauh dari area hutan, sebuah kereta kuda tanpa kusir telah terikat di sana. Dia membaringkan Jingga di dalam kereta kuda dengan perasaan lega.

Candramaya mengikuti Willy dan akan naik ke kereta kuda saat merasakan sakit yang tiba-tiba. Nyeri itu menjalar dari tangan yang menggunakan kekuatan sihir, menyerang seperti pisau yang menggores inti jantung.

"Hei! Apa yang terjadi padamu?" Willy bertanya dengan cemas tanpa jawaban dari Candramaya yang seketika pingsan.

Saat terbangun, Candramaya telah berada di dalam kereta kuda dengan Jingga yang tampak tak ingin mengungkapkan kesedihannya. Dia mendengarkan percakapan antara Willy yang mengajak Jingga menetap di ibukota kerajaan. Setelah berpikir sesaat, Jingga mengangguk setuju dan menoleh kepada Candramaya dengan kikuk. Sejak awal, Candramaya baginya adalah orang asing yang menggunakan identitasnya untuk bekerja. Namun mengingat upaya Candramaya untuk membantunya, Jingga tidak dapat menyalahkan Candramaya.

"Hentikan keretanya. Aku turun di sini," pinta Candramaya, menyela keheningan di antara mereka.

Kereta segera berhenti di bawah derai gerimis yang terbuai cahaya lentera dari pemukiman warga. Beberapa meter lagi agar mencapai jalan yang dilapisi bebatuan. Kusir kuda menarik napas lelah dan menoleh ke belakang dengan mata sayu yang menahan kantuk.

Jingga memperhatikan wajah itu dengan saksama dan hal yang dikiranya mimpi membuat dia terkejut. Namun Willy tidak menyadarinya. Dia terfokus pada Candramaya yang hampir melompat turun dari kereta.

"Sebentar lagi akan tiba di penginapan kota. Untuk apa turun di sini?" Willy kebingungan. Pikiran rumitnya gagal menebak apa yang direncanakan oleh perantara jodoh.

Sudut matanya tertuju pada jalan hutan yang mengarah langsung ke rumah wali kota. Jalan itu tidak asing baginya untuk suatu alasan. Tetapi dia ingin tahu apa yang dikehendaki perantara jodoh dengan berhenti di sana.

"Tujuanku tidak ada di ibu kota," ucap Candramaya menghentikan Jingga dari bertanya lebih jauh.

Willy dan Jingga memperhatikan Candramaya yang semakin jauh sebelum mereka mengalihkan pandang dan menuju ke kota dengan kereta kuda.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang