Chapter 9 - 3

3 3 0
                                    

Gerhana bulan di sisi lain menjelaskan ketidakbenaran pada gedung tua tanpa jendela. Rumah yang konon memiliki cerita nan mendalam dan tertutupi dari masyarakat saat ini. Lima puluh tahun lamanya, akar pohon yang menahan sebuah nisan mulai akan mencuat dari dalam tanah di taman belakang. Sementara di dalam rumah, seseorang mengetuk pintu kamar pelayan.

Candramaya yang tengah termenung di kamar pun turun dari kasur dan membukakan pintu, membebaskan cahaya lilin dari luar menyelinap masuk tanpa memperlihatkan apa pun. Senyumannya ditujukan untuk gadis berbusana pelayan yang baru tiba siang ini.

"Ada apa?" Candramaya bertanya dengan tetap menahan sisi pintu.

Lila yang mengetuk pintu pun tertegun akan betapa gelapnya kamar Candramaya. Sebelumnya ia berniat untuk tidur sekamar dengan Jingga karena Nindi menolak untuk berbagi kamar. Namun begitu merasakan terpaan angin dingin dari dalam, dia membisu. Lila mengerucutkan bibir dan kembali ke kamarnya sendiri yang diterangi lilin.

Candramaya masih termenung memegangi pintu ketika Prasetyo datang untuk menegurnya. Setelah masuk dan mendengar suara kunci, dia memutuskan untuk berbaring dengan tenang. Sayup-sayup terdengar bisikan yang akrab dari kamar sebelah.

"Tinggallah di sini selamanya."

"Jangan pergi. Selalu di sini bersama kami."

"Kamu akan mati dengan tragis jika pergi."

Bisikan-bisikan itu dibuat oleh arwah-arwah hitam yang menemukan mangsa baru. Candramaya masih mendengarkan dengan saksama sampai Lila ketakutan. Teriakannya hampir memekakkan telinga. Suaranya tidak keluar dari kamar yang kedap suara. Candramaya memiliki kemampuannya sendiri untuk mendengar Lila yang terus berteriak hingga ia hampir melewatkan suara langkah kaki di kamar sebaliknya.

Candramaya yakin bila Nindi yang menempati kamar itu telah terlelap sejak awal, jauh sebelum Prasetyo pergi mengunci pintu kamar. Nindi akan terkejut saat bangun dan menemukan pintu kamarnya tidak bisa dibuka. Akan tetapi, suara selanjutnya membuat Candramaya segera berpindah posisi dan mencari bagian dinding dengan celah. Sebuah lubang kecil ada di sudut dan cukup tepat bagi Candramaya untuk melihat seluruh kejadian.

Nindi tertidur lelap saat seseorang dengan tubuh tinggi membekap wajahnya. Dia bangun dan panik tanpa dapat membebaskan diri. Apa yang diberikan padanya tidak membius, namun membisukan tenggorokan dan melemahkan perlawanan. Ia diseret turun dari kasur dan ditarik keluar pintu.

Candramaya tidak dapat mengetahui ke mana mereka pergi karena di luar pandangan. Dia menunggu lebih dari setengah jam untuk menyelinap keluar dan mencari keberadaan Nindi sampai akhirnya kehilangan jejak. Dia berhenti di ruang utama, mencari ke sana kemari untuk menemukan petunjuk hingga sebuah lilin yang menyala sedikit masih terletak di atas meja menarik perhatiannya.

Lilin itu diangkat dan angin yang lewat pun mematikan sisa api pada sumbu. Dengan korek api yang tertinggal di atas meja, Candramaya menyalakan lagi dan membawa lilin itu berkeliling. Dia mendekat dengan penasaran pada lukisan yang tertutupi bayangan. Cahaya kuning menguak perlahan sisi lukisan yang lain dan memperlihatkan postur seorang gadis bergaun sederhana dengan cat bagian wajah yang dirusak.

Hanya perlu melihat sekilas. Candramaya tahu bahwa orang dalam potret itu adalah Ny. Amaranta dan Ayna. Dalam buku sejarah bangsawan, tidak disebutkan anak lain kecuali mereka berdua yang akrab hingga layak dilukiskan pada kanvas setinggi pinggang orang dewasa. Persahabatan antara mereka tampaknya cukup berharga hingga lukisan rusak itu digantung di ruang utama.

Hendak mencari tahu tulisan di lukisan itu, Candramaya mendengar derap langkah sepatu kulit, segera meletakkan lilin ke atas meja pada posisi semula. Kembali ke kamar dan berpura-pura tidur ketika kunci pintu berbunyi. Ia tetap diam walau merasakan seseorang datang dan membuat derit pintu. Orang itu mendekat dan memegangi tepian kasur tanpa menyentuh Candramaya yang berbaring memunggungi.

"Tidurlah selamanya. Tak ada lagi yang perlu dikerjakan saat tidak bisa bangun," ujar lelaki itu mengutuk dengan suaranya yang dalam.

Candramaya membuka mata setelah keberadaan lelaki itu tak terasa. Dia mengusap punggungnya dan merasakan sesuatu menancap di sisi kanan. Tapi ia tidak dapat merasakan apa pun selain cairan tak berbau yang mengalir dan sedang coba ia seka.

Kejanggalan itu membuat Candramaya segera beranjak. Pisau yang menancap di punggungnya jatuh seiring darah yang berhenti mengalir. Luka yang sembuh seketika membuat Candramaya tercengang. Perubahan pada tubuhnya yang takut akan matahari dan tidak dapat merasakan sakit, telah membuatnya berbeda dengan manusia lain. Prasangkanya lantas tertuju pada batu sihir yang diberikan oleh makhluk penunggu hutan terlarang.

Usai mengeluarkan batu hitam dengan goresan emas yang selalu ia bawa di saku, Candramaya meletakkan batu itu di atas kasur dan menjauh. Secara bertahap, ia merasakan sakit yang menjalar di punggung dan aroma darah keturunan bangsawan Negeri Sihir yang unik pun tercium dari belakang.

Dia menyimpulkan bahwa batu itu telah menyembunyikan keberadaannya sekaligus meniadakan rasa sakit. Itu pun berarti bila suatu hari dia terluka parah yang menjadikan nyawanya bertaruh dalam wujud manusia, celaka bila dia kehilangan batu itu. Candramaya bisa saja mati kapan pun batu itu tidak bersamanya.

Ketenangan dari Candramaya berbeda dengan ambisi yang timbul. Keinginan untuk mendapat kembali kemampuan sihir dan melepaskan belenggu rasa yang selama ini merantai pintu hatinya memberontak untuk keluar.

Detik itu, hujan turun di luar bangunan. Sayup-sayup masih terdengar cacian seseorang, diikuti derap langkah yang mengguncang pepohonan. Saat dia berfokus pada keadaan di luar, seekor laba-laba yang melesat cepat demi mengincar batu sihir di genggaman Candramaya, terpental dan berubah wujud menjadi Ayna, berbaring tak berdaya.

Suara hujan yang samar tak dapat memanggilnya. Candramaya mendekati anak itu dan mencoba membangunkan. Saat yang sama, tubuh Ayna menghilang tanpa menyisakan jejak selain arwah-arwah hitam yang mengawang di sudut langit-langit. Marah dipermainkan oleh keadaan, ia menggenggam erat batu di tangan. Kekuatan gelap menundukkan arwah-arwah yang lemah.

"Ke mana dia pergi?" tanya Candramaya seraya menoleh ke atas. Sorot matanya tak lagi menyiratkan kesedihan, melainkan kemarahan yang tertahan.

Salah satu di antara arwah-arwah hitam itu menampakkan diri dalam wujud wanita muda yang kehilangan sebelah kaki. Tanpa bicara, dia menunjuk ke arah taman belakang rumah. Lalu menghilang bersama arwah lain saat Candramaya mengalihkan pandangan.

Candramaya sendirian di kamar, memandang terus ke arah yang ditunjuk dengan jantung berdegup. Batu sihir bersinar sesaat dan meredupkan sisa kegelapan yang membingungkan keberadaan.

Setelah mengetahui banyak hal yang sulit ia terima, suara lonceng tak dapat membangunkannya. Apalagi panas matahari yang kian menyengat.

Candramaya tetap terlelap di sepertiga siang hingga tangisan Lila yang memilukan membangunkannya. Dia berjalan keluar kamar dengan memijit kepala dan raut wajah kusut yang tak menunjukkan bahwa ia sedang baik-baik saja. Pandangannya masih kabur karena kehilangan darah sampai siluet Ny. Amaranta muncul di hadapannya dengan sebuah lonceng kecil yang antik.

"Apa masalahmu?" tanya Nyonya Amaranta.

Sejak kedatangan dua pelayan itu di rumah, Ny. Amaranta merasa ada saja masalah yang terjadi sampai pelayannya Jingga pun ikut terdampak.

Pagi buta sebelum ayam berkokok, bahkan sebelum Ny. Amaranta bangun. Prasetyo mengetuk pintu kamar dan mengatakan bahwa Nindi telah berangkat kembali ke kota karena tidak betah bekerja di tepi kota. Lalu Lila yang terus menangis setelah kunci pintu kamarnya dibuka, kini sedang bersujud pada Prasetyo yang duduk di kursi ruang tamu dan memohon agar ia juga dipulangkan kembali ke pusat kota.

Mereka bertahan di tempat yang sama saat Candramaya mendorong kursi roda Ny. Amaranta dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

"Biarkan saja dia pergi kalau dia tidak betah di sini," tutur Nyonya Amaranta yang sudah lelah mendengar suara tangisan Lila.

Baru beberapa hari sejak kedatangan kedua pelayan itu dan sudah terlalu banyak kebisingan yang mengganggu.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang