Chapter 18 - 2

2 2 0
                                    

Ambisi dalam diri Dares, tidak dapat dipahami Candramaya yang berada di tempat manusia-manusia lain berkumpul, membicarakan keburukan para penyihir yang dianggap sebagai manusia dengan niat jahat untuk mencelakai.

"Lalu para gadis-gadis yang dianggap penyihir itu dibakar dalam kobaran api, padahal mereka hanyalah manusia biasa yang dituduh karena kecantikan yang tidak biasa."

Saat Pelayan itu mengatakannya, dia melirik ke arah Candramaya yang sedang menyapu dedaunan di taman belakang rumah Amaranta.

Gadis dengan kecantikan tidak biasa yang sedang mereka bicarakan, mencari akar pohon yang besar dan duduk berlindung dari cahaya terik surya. Candramaya mengangkat sepucuk daun kuning yang tidak diinginkan pohon, menutupi arah datangnya silau matahari dan tertegun sesaat.

Aura raksasa yang asing menyeruak dari arah hutan di mana laba-laba raksasa menunjukkan diri. Batu hitam dalam genggaman Candramaya berpendar di bawah teduh ranting.

Suara dentuman diikuti guncangan yang singkat mengejutkan mereka. Candramaya pergi ke halaman depan untuk memeriksa. Sebuah kereta kuda tampak dari kejauhan sedang mengebut kemari dan berhenti seiring ringik kuda.

Belatik dengan wajah dingin dan bibir pucat yang kelelahan, dibantu kusir kuda untuk turun dari kereta.

Salah satu pelayan mendorong kursi roda Ny. Amaranta dan menyambut tamu yang datang dengan tergesa.

"Apa yang membuatmu begitu?" tanya Nyonya Amaranta heran.

Baginya, Belatik adalah seorang bangsawan yang sangat menjaga tingkah laku. Dia tidak akan menunjukkan ekspresi seperti itu di hadapan banyak pelayan yang menyambut kedatangannya.

"Nyonya," Belatik memberi salam dengan kaku, "ada kabar buruk."

Nyonya Amaranta memahami isyarat dalam ucapan Belatik dan meminta dia masuk ke dalam kamar sebelum mengatakan maksud kedatangannya. Pelayan-pelayan lain yang penasaran dengan enggan mundur dan menjauh karena takut dituduh menguping pembicaraan. Sementara Candramaya tetap berjaga di depan pintu. Meskipun kamar itu kedap suara, Candramaya dapat mendengar apa yang mereka katakan dengan jelas berkat batu hitam.

"Keponakanmu, Prasetyo. Pagi ini ditemukan meninggal bunuh diri di penjara," ungkap Belatik setelah pintu kamar tertutup.

Dentingan keras yang tiba-tiba terdengar dari kamar dan mengacaukan pendengaran Candramaya. Dia menduga Amaranta terkejut sehingga menjatuhkan lonceng antik kesayangannya itu. Bunyinya yang mengganggu tidak berhenti terngiang di telinga Candramaya hingga tak ada lagi pembicaraan dalam kamar. Dia kembali dan melanjutkan pekerjaannya di taman belakang.

Setelah Candramaya pergi, pintu kamar Ny. Amaranta terbuka. Belatik memandang keluar dengan tatapan sinis dan berbalik untuk pamit kepada Ny. Amaranta. Lalu melanjutkan perjalanan kembali dengan kereta kuda seolah tidak ada apa pun yang mengganggunya.

"Pelayan cantik itu." Belatik bergumam dengan jari yang menunjuk bibir.

Kusir memelankan laju kereta dan memandang dengan tatapan hormat kepada Belatik, berkata, "Dia adalah orang yang menemukan perbuatan keji pria itu?"

Belatik menurunkan senyuman dan menoleh ke depan dengan tajam. Matanya berkilat saat mendengar pertanyaan kusir kuda.

"Nyonya, haruskah saya?" Pria itu bertanya sembari mengungkapkan pisau yang berkilat di depan lehernya sendiri.

Kusir kuda ini adalah pembunuh yang patuh kepadanya karena suatu alasan kuat. Dia tidak akan berani berenang jika Belatik menyuruhnya berjalan melewati sungai.

"Tidak," Belatik memandang keluar jendela. Bangunan rumah Ny. Amaranta masih terlihat megah meski mereka telah menjauh dari pekarangan. Dia menoleh pada kusir dan berbisik, "Biar Nyonya yang mengurusnya. Kita tidak boleh ikut campur tanpa izin Nyonya."

Candramaya sedang membereskan meja makan ketika salah satu pelayan mengadang.

"Biarkan aku lewat," ujar Candramaya lemah.

Setelah mendengar denting lonceng di kamar Ny. Amaranta, Candramaya merasakan kondisi fisiknya menurun. Dia akan mengambil napas setelah beberapa langkah di bawah sinar matahari yang terasa membakar kulit.

Walau masuk ke ruang makan, rasa lelah tidak berhenti dan seolah menambah beban baginya, pelayan yang senang merundung pelayan lain menghalangi dia.

Candramaya hendak mengatakan sesuatu ketika suaranya menghilang begitu dia membuka mulut. Dengan sorot mata tertegun, dia mendorong lawan agar menepi. Tetapi pelayan yang tampaknya kuat itu justru terpukul hingga menabrak meja makan.

Piring-piring pecah dan garpu berserakan di samping tubuh pelayan yang melenguh. Kegaduhan itu mendatangkan pelayan-pelayan lain yang terperangah melihat kebrutalan Candramaya. Pelayan lain berusaha mengangkat pelayan yang jatuh dan menemukan darah mengalir perlahan dari luka di kaki yang tergores pisau.

"Cepat cari kain untuk membalut luka!" serunya nyaring. Lantas memandang sinis ke arah Candramaya yang bergeming. "Aku pasti akan melaporkan perbuatanmu kepada Nyonya."

Pelayan-pelayan itu pergi tanpa memedulikan Candramaya yang terpaku di tempat. Dia tidak bermaksud untuk menyakiti pelayan itu. Namun kekuatan dalam dirinya seakan tidak terkendali dan keluar begitu saja ketika merasakan bahaya.

Di dalam kamar, pelayan yang terluka dibaringkan di atas kasur.

"Aku tidak." Belum selesai pelayan itu berbicara, dia menerima tamparan yang memalingkan wajahnya ke sisi dinding.

Pelayan yang menamparnya dengan berang menjambak rambutnya dan berteriak di depan wajah yang lebam, "Kamu sudah bosan hidup sampai berani menentang perintah Nyonya."

"Kalau memang mau mati. Jangan melibatkan kami." Pelayan yang bersandar di pintu menambahkan. Dia adalah pelayan yang sebelumnya dirundung oleh pelayan yang terluka.

Sedangkan pelayan yang terluka tidak berani mengatakan sepatah kata pun. Dia hanya berbaring dan menangis saat pelayan lain meninggalkan dia yang bergumam tidak jelas.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang